Friday, June 16, 2006

(Dide andPrej*udice
Wovie Adaptation
English Literary Masterpiece versus American Chicklit
an Essay by .Asih Nurul(174o453

Menikmati sebuah novel tentu saja tidak sama rasanya dengan menikmati sebuah film. Ada unsur-unsur yang hanya terdapat dalam novel, dan sebaliknya. Bagaimana halnya dengan sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel? Tentu saja juga berbeda, makanya disebut sebagai adaptasi, ada unsur penyesuaian di dalamnya.
Penyesuaian terhadap apa?
Bisa terhadap macam-macam, entah selera penonton, entah budget yang tersedia dan tetek bengek lainnya. Namun menurut saya pribadi karena adaptasi yang dimaksud di sini adalah adaptasi dari novel, maka selayaknya penyesuaian tersebut dilakukan dengan acuan novelnya.
Efek dari penyesuaian in] tergantung dari kelihaian si pengadaptasi tersebut.
Novel berjudul Pride and Prejudice karya Jane Austen telah lebih dari sepuluh kali diadaptasi ke bentuk motion pt cture oleh berbagai negara balk film, miniseri, maupun parodi. Adaptasinya yang paling anyar adalah film produksi Hollywood besutan sutradara Joe Wright keluaran Universal Pictures tahun 2005. Film ini memasang Keira Knightley dan Matthew Macfayden sebagai tokoh iitan:a Elizabeth Bennet dan Fitzwilliam Darcy.
Film ini cukup sukses secara komersil dan berhasil dinominasikan di ajang Golden Globe untuk kategori Best Motion Picture untuk kategori Musical or Comedy dan Best Performance by an Actress in a Motion Picture juga untuk kategon' Musical or Comedy (Keira Knightley). Selain itu telah disabet pula gelar Outstanding Costume Design (Jaqueline Duran) dari Sale/ite Award dan Best New Filmmaker (Joe Wright) dari Boston Society of Film Critics. Rating yang diberikan oleh para penonton pun baik. Tentu saja, dengan bantuan para fans Knightley, bintang cantik yang memang sedang tenartenarnya.
Menonton film versi Hollywoodnya ini, penonton yang belum pernah membaca novelnya akan membayangkan bahwa versi novel dari film tersebut adalah novel tentang keluarga petani dengan anak perempuan cantik dan pemberontak yang kemudian
mengalami love-hate relationship dengan seorang bangsawan kaya raya yang kuper dan sombong. Cerita cinta yang kilat dengan karakter yang kuat dan saling melengkapi plus happy ending. Paket standar Hollywood yang menghibur.
Namun para penonton yang berasal dari fandom novelnya akan pulang dengan perasaan sebal dan tertipu karena film yang mereka tonton bukanlah versi motion picture dari novel masterpiece sastra inggris yang mereka kenal, melainkan sebuah chicklit pseudo-inggris buatan Amerika. Menonton film ini adalah menonton drama percintaan klasik yang bermutu yang memiliki rasio yang seimbang antara adegan yang berkesan dan adegan yang membosankan.
Bukan begitu novelnya.
Novel tersebut menipakan masterpiece klasik yang dapat disejajarkan dengan novel-novel Charles Dickens karena dianggap sebagai breaktrough dalam mengkritik pergaulan kelas sosial menengah ke atas di Inggris saat itu.
Dalarn Pride and Prejudice-nya Austen mengemukakan kegeliannya pada kesombongan dan prasangka masyarakat inggris yang la sampaikan dengan halus lewat jalinan cerita Lizzy dan Darcy yang penuh diplomasi terselubung, kesalahpahaman dan cinta yang berkembang tanpa disadari. Sisi humor dari cerita pun muncul akibat pembelaan akan perbedaan pandangan dan cara bersikap mereka terhadap kelas sosialnya
Keluarga tsennet bukan keluarga petani, namun keluarga kelas menengah ("lower than Darcy's class, but not low-classed") dengan lima orang putri yang siap dinikahkan. Tetapi dalam film ini kesan yang tersampaikan adalah kesan hidup sebagai petani. Bagaimana tidak? Fakta dalam film menunjukkan demikian : babi bebas berkeliaran dalam rumah (oh, there you are Babe, our dear gallant pig), tuan rumah berbondongbondong menyambut sendiri tamunya di malam buta dengan pakaian tidur (padahal seharusnya mereka punya pelayan untuk membukakan pintu), anak-anak perempuan hanya mengenakan korset ketika pesta dan tidak meyisir rambut mereka (mungkin
supaya efek blower-nya lebih terasa). Benar-benar lebih mirip keluarga petani koloni inggris di Amerika, lebih cocok untuk setting film Far and Away.
Hollywood memang Jell melihat potensi profit. Knightley mungkin terlalu menarik dibanding deskripsi Austen tentang tokoh Elizabeth Bennet. No problem. Pride and Prejudice merupakan novel inggris. Keira Knightley adalah aktris inggris, dengan aksen british ash yang keren dan popularitas yang tinggi. Both mean big money, mungkin begitulah kira-kira pikiran para produser Hollywood di Beverly Hills sana. Teatu saja bagi para fans Knightley, film mil akan menjadi sangat menarik karena dapat melihat sang idola memerankan peran yang berbeda dari peran yang biasa la lakoni. Apa iya? Tidak juga. Lizzy Bennet yang ia perankan tetap saja tomboy (alasan kenapa la tetap dipakai), dan terlalu ekspresif sehingga terlihat kasar. Tentu saja penonton menyukainya, itulah Keira Knightley yang mereka kenal.
Kesan yang ingin ditonjolkan adalah kesan bebas dan dinamis pada diri Keira Knightley, bukan pada karakter Lizzy Bennet dalam novel.
Lizzy dalam novel Austen tidak cantik namun menarik, tidak tomboy namun berar.i, la dewasa, smart dan sensible, dan memilih untuk diam-diarn menertawakan kekonyolan lingkungan sekitarnya, dan mengemukakan pendapatnya dengan halus namun tegas dan mengena.
Lizzy yang diperankan Knightiey sebaliknya, berapi-api, tomboy, dan manner-nya terkesan liar (duduk sila di atas dipan, menggerai rambut diluar rumah), kesan smart-nya tenggelam karena la lebih banyak digambarkan melamun dengan background countryside inggris yang canti;;.daripada digan:barkan berdialog dengan pintar,
Darcy yang seharusnya menjadi karakter kuat dan charming, menjadi terkesan datar, lemah dan tersiksa; MacFayden selalu berdialog dengan terburu-buru dan tampak mual (I'm concentrating... poke me and I'll puke).
Darcy yang diperankan MacFayden dan Lizzy yang diperankan Knightley lebih tepat menjadi karakter Mary dan Collin Crevey dari novel Secret Garden.
Mr. Bennet, ayah Lizzy yang diperankan oleh Donald Sutherland, terkesan terlalu modern dan lebih tampak seperti mad scientist (versi ganteng dari Einstein lengkap dengan perpustakaan dan koleksi serangganya,) daripada seorang middleclass gentleman. George Wickam, tokoh antagonis penting dalam plot novelnya, hanya dimunculkan dalam 3 menit ( kali ini didandani seperti Legolas dari Lord of the Rings, versi serdadu inggris), dan secepat itu pulalah konflik kawin larinya dengan Lydia Bennet diselesaikan.
Charlotte Lucas, sahabat Lizzy, digambarkan sebagai seorang wanita desperate yang sama sekali tidak menarik, sangat timpang dengan Lizzy (stereotipe inferior sidekick yang hanya ada untuk menonjolkan tokoh utama). Padahal dalam novel, kedua sahabat ini saling mengagumi idealisme masing-masing dan alasan Charlotte menikahi Mr. Collins yang ditolak Lizzy bukanlah karena keputusasaan melainkan karena alasan rasional.
Charles Bingley seharusnya nampak terlalu balk, bukan bodoh (dan cara tertawanya seperti orang terbelakang), dan Jane Bennet bahkan sama sekali tak berkesan.
Meminjam istilah dari dur.ia fanfiction, hampir semua tokoh penting dalam film ini OOC (out of character). Beberapa karakter yang tetap pada karakter ceritanya adalah Lady Catherine de Bourgh (diperankan oleh Judi Dench), Mrs. Bennet, Mr. Collins, dan Lydia Bennet.
Mungkin jika ditotal, dari 135 menit durasi film, 15 menit habis dipakai untuk adegan Lizzy melamun memandang kejauhan dan 15 menit lag] untuk close up-nya tersenyum dan tertawa cekikikan memamerkan gigi gingsulnya. Mau tak mall, non-fans Knightley akan terganggu, karena efek dari penyediaan waktu untuk menonjolkan sang aktris tersebut berefek pada jalan cerita yang seperti melompat-lompat sehingga penonton tidak diberi kesempatan untuk mengenal para karakter. Tak heran dialah satu-sat,uiya yang mendapat nominasi untuk penghargaan. Aktor dan aktris lainnya tidak mendapat kesempatan untuk menunjukkan akting mereka.

Tak semua kekurangan diakibatkan oleh para aktor dan aktrisnya Script dan kostum yang ditampilkan pun bertentangan dengan sejarahnya.
Kostum dan aksesori yang digunakan seperti datang dari berbagai zaman mulai dari Renaissance hingga tahun 90-an (gaun Ms. Bingley pada adegan ballroom dance, lebih mirip gaun spaghetti strap modern daripada gaun abad 18), (mungkin budget untuk kostum habis untuk fee bintang-bintangnya?).
Sangat mengherankan film ini dapat memenangkan outstanding costume design. Mungkin gelar tersebut didapat menilai usaha sang costume designer dalam menonjolkan kepribadian Lizzy yang khas dari saudari-saudarinya. Namun penonjolan ini malah terkesan janggal dan tidak sesuai dengan zamannya. Dalam film Lizzy tidak pemah mengenakan top] sama sekali kecuali ketika la berada di gereja (padahal mengenakan topi adalah tanda gadis yang sopan), ia tidak mengenakan sanmg tangan sebagai pelengkap gaunnya yang berlengan pendek (lagi-lagi tidak mengikuti kaidah kesopa_nan yang berlaku), la juga berdandan 'apa adanya', tidak rnengganjal dadanya supaya lebih penuh (kali ini tidak mcngikuti prinsip kcindahan saat itu, cntahlah barangkali supaya figumya terlihat bak supermodel) Tone warna pakaian yang dipilihkan pun nyaris selalu gelap (hijau tua dan cokelat), lebih mirip seperti pakaian lower class daripada middle class. Kesan yang didapat memang tomboy. Tapi sekali lagi, tokoh Elizabeth Bennet dari novel Pride and Prejudice TIDAK tomboy.
Script pun seperti bingung antara mengambil dari novel atau tidak. Hasilnya adalah campuran antara dialog novel, modifikasi dari dialog novel, dan dialog yang dibuat-buat sendiri. Kesannya? Tidak jelas, seperti bahasa inggris modern yang diretouch oleh vocabulary yang antik dengan manner pengucapan dan gesture yang juga lebih modern. Tengoklah dialog dan manner Bingley yang dengan bebasnya masuk ke kamar Jane, atau adegan Darcy yang sekonyong-konyong muncul menemui Lizzy yang masih mengenakan gaun tidur di ruang baca.
Barangkali sang scriptwriter, Deborah Moggach, menganggap bahwa mengambil dialog langsung dari novelnya terlalu mudah, atau membuat dirinya tidak berperan banyak. Maka dengan sengaja dimodifikasinya dialog itu tanpa menyadari bahwa ia bukanlah Jane Austen yang memang hidup pada zaman itu dan berbicara dengan bahasa macam itu sedangkan dirinya tidak. Revisi yang dilakukan oleh Emma Thompson (yang pernah menulis script untuk film kualitas Oscar yang juga dari novel Austen, Sense and Sensibility), kemudian pun tidak banyak menolong.
Satu lagi yang boleh disalahkan adalah durasi film yang terlalu singkat untuk adaptasi novel yang cukup dalam ini. Boleh dibandingkan dengan Pride and Prejudice versi BBC yang berdurasi 300 menit (dengan Jennifer Ehle sebagai Lizzy dan Colin Firth sebagai Darcy), durasi tersebut cukup untuk menggali karakter masing-masing tokoh dan jalinan cerita serta moral di dalamnya.
Setting boleh dipuji karena keindahannya. Pemilihan lokasi untuk Pemberley dan Longbourne sudah tepat, meskipun pemandangan countryside yang indah tersebut kemudian hanya digunakan sebagai background Knightley yang tengah melamun, dan klise (girls ialk dalam selimut antara Lizzy dan Jane? Hujar_ di gazebo saat Darcy melamar Lizzy? So CIICI7ed American, bahkan dari love-hale chemistry diantara kedua tokoh ini pun sangat klise Amerika, saya tidak akan kaget bila mereka menyelipkan adegan ciuman saat sedang berdebat... untunglah tidak).
Angle kamera yang digunakan pun balk dan dapat menangkap momen-momen yang sulit difilmkan seperti adegan ballroom dance dan adegan Lizzy yang berputarputar di ayunan (mcski agak janggal juga buat saya : ayunan tersebut dipasang tepat di pintu masuk kandang ternak... lalu bagaimana cara kereta, gerobak dan ternaknya lewat? Barangkali sang sutradara merasa bahwa penonton akan cukup puas dengan pemandangan siluet Keira d: ayunan dengan gerbang arched stone yang indah sebagai frame-nya sehingga tidak akin mempertanyakan hal semacam ii), angle eksperimentalnya berhasil, pantaslah diganjar penghargaan Best New Filmmaker dari
Boston Society of Film Critics dan Best Edited Feature Film kategori Comedy or Musical dari American Cinema Editors, USA
Melihat dari eksperimen angle kameranya -itu , mungkin maksud Joe Wright adalah menciptakan versi Pride and Prejudice yang lebih ngepop, baru dan segar. Namun niatan itu tanggung karena film ini mengambil setting periode yang sama dengan novelnya maka selayaknya disesuaikan sesesuai-sesuainya.
Bila ingin bereksperimen, contohlah Gurinder Chadha dengan semi-parodinya Bride and Prejudice, yang jelas jelas berbeda setting-nya (bahkan judulnya pun diplesetkan), yang jelas jelas pula memiliki excuse untuk merombak besar-besaran dialog, setting dan koshimnya. Atau ambil resiko yang lebih besar seperti Romeo and .Juliet versi Leonardo DiCaprio yang mengadopsi langsung dialog namun memindahkan drastis setting zamannya.
Kesimpulannya film Pride and Prejudice ini harus dinikmati terpisah dengan novelnya, karena meskipun usahanya boleh juga, adaptasinya tanggung berat. Tap] memang chicklit ameril:a selama-lamanya akan lebih populer dan disukai daripada :iteratur masterpiece inggris.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home