Friday, June 16, 2006

Horor dan Remaja Lagi?
Essy Prita Cinta

Melihat antrian penonton bioskop saat ini memang sangat menggiurkan para produser perfilman tampaknya. Bagaimana tidak? Film-film laris seperti "Petualangan Sherina", "Ada Apa dengan cinta", dan "Jelangkung" diantre penonton bermingguminggu. Tidak kurang dari dua juta orang telah menonton film-film itu. Film laris lainnya, Tusuk Jelangkung, berhasil mengumpulkan satu juta seratus ribu orang penonton! Jumlah yang cukup untuk mengalahkan film-film box office Hollywood, seperti "Harry Potter" dan "Lord of The Ring".
Dimulai dari dominasi infotainment dan sinetron di televisi yang mulai membosankan, respon penonton film yang menggembirakan ditambah gaya gaul anak muda masa kini dimana nonton bioskop ada didalamnya, mendorong kekritisan masyarakat perfilman untuk melahirkan kembali film-film lokal di saat keadaannya bisa dibilang mati suri.
Sineas-sineas muda berbakat yang ingin menunjukkan filmnya pun mulai bermunculan. Film-film indie mulai bertaburan di masyarakat. Membaca gelagat ini, lahirlah festival-festival film amatir yang bermaksud menampilkan ide-ide segar film maker amatir kepada masyarakat dan juga membangkitkan perfilman Indonesia. Hal ini tampaknya cukup berhasil merangsang para produser senior dan junior bersaing untuk memproduksi film baru yang dapat diterima masyarakat.
Sampai akhir tahun 1999, para produser mulai mencari-cari bentuk film yang sekiranya laris di lapangan. Karenanya, dalam rentang waktu itu, muncul berbagai genre film dari berbagai sutradara. Film-film yang bisa dikatakan sebagai hasil eksperunen itu muncul dengan kualitas dan ide yang berbeda satu sama lain. Berbeda, sampai tidak ada jenis film tertentu yang bisa dikatakan mainstream.
Sewaktu Nan Triveni Achnas dengan "Kuldesak" (1998) menyeruak sebagai nominator Best Asian Feature Film di Singapore International Film Festival (1999), perfilman Indonesia seakan dibangunkan dari tidur panjangnya. Setelah bertahuntahun tidak ada film lokal yang dipasang di studio 21, film ini bisa dianggap film pertama di era baru perfilman Indonesia
"Kuldesak" dengan tema metropolisnya yang bersaing di ajang internasional saat itu, sebenarnya belum bisa dikatakan menarik banyak penonton. Kebanyakan baru mengetahui "Kuldesak" setelah ia menjadi nominasi, bukan ketika pertama kali ditayangkan. Berbeda dengan film produksi Miles, "Petualangan Sherina" (2000)

yang menawarkan cerita yang ringan namun segar dan digarap dengan serius. Memanfaatkan talenta artis cilik Sherina, didukung oleh aktor-aktor kawakan, ditambah promosi yang cukup gencar, film ini bisa dikatakan sukses menarik penonton yang memang merupakan sasaran pembuatannya sejak awal, yaitu anakanak dan orangtuanya.
Dengan sasaran dan konsep yang nYaris sama, memanfaatkan artis cilik Joshua, Joshua Oh Joshua (2001) muncul yang ternyata tidak sesukses pendahulunya. Segarnya ide dan framing "Petualangan Sherina" yang menawarkan cerita kehidupan anak-anak jaman sekarang memang harus diakui berbeda jauh dengan "Joshua Oh Joshua" yang menampilkan cerita seperti film anak-anak jaman dulu, dengan setting kumuh, hidup miskin bersama ibu tiri dan kesedihan yang terus menerus dieksplorasi. Pada akhirnya, kesegaran ide menjadi salah satu unsur yang paling penting disini.
Berangkat dari rumah produksi yang sama dengan "Petualangan Sherina", muncullah film yang dianggap sebagai trendsetter berbagai tayangan saat ini, Ada Apa dengan Cinta (2001), yang membangkitkan harapan penonton Indonesia akan kebangkitan film Indonesia. Walaupun masih lemah untuk bertanding di liga internasional, jika dilihat dari waktu kemunculannya saat itu, film remaja bergenre komedi romantis ini memang sangat Indonesia, cukup berkualitas dan memiliki unsur yang penting untuk dimiliki film baru, segar!
Dianggap sebagai reinkarnasi "Gita Cinta dari SMA" (1978), tidak membuat film ini lantas menjadi mainstream saat itu. Dengan adanya garis waktu, film ini masih berkedudukan sebagai sidestream sampai akhirnya film-film remaja lainnya muncul. Sebut saja "Rumah Ketujuh" (2002), "Cinta 24 Karat" (2003), "Eiffel, I'm in Love", "Biarkan Bintang Menari" dan yang baru "30 Hari Mencari Cinta" (2004). Terasa ada penurunan idealisme, dimana film seperti "Rumah Ketujuh" dan "30 Hari Mencari Cinta" mengemas cinta remaja menjadi sesuatu yang enteng dan hanya itu. Berbeda dengan kisah Rangga dan Cinta yang masih bersinggungan dengan persahabatan, penjual buku bekas dan sastra yang selama ini dianggap kurang diminati remaja.
"Jelangkung" yang produksinya tidak memakan waktu dan low budget ini, temyata meledak di pasaran. Padahal, film yang bertema horor ini pada waktu pemutaran perdananya banyak ditinggalkan produser senior yang diundang, cukup wajar tampaknya, karena memang pada filmnya sendiri terlihat kesan buru-buru ingin diselesaikan. Akting para pemainnya pun kurang bagus untuk ukuran film bioskop,

dan juga kurang natural. Walaupun begitu, film dengan ide hantu lokal ini memang cocok untuk menakut-nakuti orang Indonesia. Toh, bagaimanapun juga, suster ngesot dan hantu jelangkung lebih menakutkan bagi kita dibanding hantu-hantu impor, seperti drakula atau zombie kan?
Minimal, sekarang kita bisa bilang kalau Jepang punya "Ringu", Hongkong punya "The Eye", Indonesia juga punya "Jelangkung"!
"Tusuk Jelangkung" (2003) yang menggaet banyak sponsor dalam pembuatannya berhasil lebih baik dari film pertamanya. Digantinya sutradara dan hampir semua pemainnya memberikan nuansa pop horor baru yang cukup berkualitas. Tapi, ikut suksesnya film ini membuat ketidakbiasaan tema yang ditampilkan "Jelangkung" menjadi sesuatu yang biasa. Karena setelah itu, muncul berbagai film horor lain yang tak sama tapi jelas serupa. Misalnya film-film produksi Kharisma Starvision Plus, yaitu "Kafir"(2002), "Peti Mati"(2002), dan "The Soul"(2003). Dilihat dari sisi manapun film-film itu memang film horor lokal kan?
Intinya, seperti halnya "Ada Apa dengan Cinta", karena adanya perjalanan waktu, "Jelangkung" saat ini sudah berubah kedudukannya menjadi film mainstream.
Keseragaman film-film mainstream tersebut ditambah lagi dengan kesamaan produksi untuk memenuhi selera pasar, sasaran penonton yang sama-sama untuk remaja. Berdasarkan jajak pendapat Forum Film Bandung (FFB), penonton usia 13-20 tahun memang menjadi isi bioskop Indonesia saat ini. Berbeda pada waktu dulu, yang mayoritas berusia 20-35 tahun (68%).
Mementingkan selera pasar jelas tidak dilakukan oleh film karya Nan Triveni Achnas lainnya, Pasir Berbisik (2001) yang berdasarkan polling pengunjung situs imdb.com mendapatkan nilai 8,3 dari rentang 10. Ide yang segar, alur yang berjalan lambat namun pasti, akting pemain yang memukau, fotografi yang eksotis dan setting yang pas, membuat film ini banyak meraih penghargaan dari luar. Film ini memboyong penghargaan Best Cinematography, Best Sound dan Special Mention: Most Promising Director pada Asia Pacific Film Festival (2001); Netpac AwardSpecial Mention di Brisbane International Film Festival (2002); mendapatkan FIPRESCI Prize pada Oslo Films from the South Festival (2002); Asian Trade Winds dan Special Jury Prize di Seattle International Film Festival (2002); dinominasikan untuk Tiger Award di Rotterdam International Film Festival (2002); nominasi Silver Screen Award: Best Asian Feature Film dan memenangkan kategori Best Actress

pada Singapore International Film Festival (2002). Daftar penghargaan yang cukup panjang untuk 'sebuah' film Indonesia.
Film-film lain yang bisa dikatakan mendobrak dominasi film yang mementingkan selera pasar adalah Eliana, Eliana (2002). Dikemas dengan sangat berbeda dari "Pasir Berbisik" yang memanjakan mata penontonnya dengan berbagai pemandangan indah, Riri Riza menampilkan berbagai sudut kota metropolitan yang tidak akan dilewati rombongan peserta Konferensi Asia Afrika. Ruwet, padat, kumuh, dan gelap namun real dan tetap berkualitas, membuat film ini berjalan cukup lancar dari festival ke festival. Memenangkan FIPRESCI Prize dan Young Cinema Award di Singapore International Film Festival (2002) dan dinominasikan untuk Silver Screen Award: Best Asian Feature Film; meraih Dragons dan Tiger Award di Vancouver International Film Festival (2002), adalah hal lainnya yang membuat film ini mirip dengan "Pasir Berbisik", selain temanya yang mengetengahkan cerita antara ibu (kedua ibu diperankan oleh Christine Hakim) dan anak perempuannya. Tapi, sedikit persamaan tadi tidak lantas menggoyahkan kedua film ini sebagai jenis sidestream Iho! Yang sama cuma sedikit kok, itu pun sudut pandangnya beda, dan unsur-unsur sisanya juga jauh berbeda.
Garin Nugroho, si spesialis film dokumenter, juga tidak mau ketinggalan dengan film idealisnya untuk menambah daftar film sidestream Indonesia saat ini, "Aku Ingin Menciummu Sekali Saja" (2002). Tangan Garin membuat film yang punya daftar panjang untuk genrenya (komedi/ kejahatanl drama/ roman/ perang/ dokumenter/ musical) ini, memenangkan Netpac Award: Special Mention pada Berlin International Film Festival (2003) baru-baru ini. Sasaran film ini jelas bukan buat remaja, temanya juga bukan tema biasa. Kekayaan cerita yang ditampilkan film ini bisa dilihat dari panjang genrenya. Selain itu, film ini juga tidak takut penonton Indonesia tidak suka dengan memasukan latar belakang budaya Papua yang kental. Dimana lagi Irian jaya dijadikan lokasi syuting film?
Selain itu, masih ada lanjutan perlawanan Aria Kusumadewa terhadap daya ucap dan pemasaran setelah "Beth", "Novel Tanpa Huruf R" (2003), yang secara gerilya ditayangkan dari kampus ke kampus. Film yang cukup sadis ini jelas jelas beda dari film Indonesia lainnya. Baik itu tema, ide, pengemasan dan tentu saja promosinya, semua benda dan kata yang digunakan dalam film tersebut punya arti sendiri-sendiri menjadikan film ini cukup berat untuk dicerna, tidak ringan seperti film Indonesia lainnya.

r
"Arisan!" (2003) jika dilihat dari unsur waktu, tema dan idenya juga bisa dikategorikan sebagai film sidestream. Sampai saat ini, jarang sekali ada film yang
mengangkat fenomena-fenomena keseharian sebagai temanya. Promosinya pun hanya sekadar poster di bioskop dan dari mulut ke mulut para penonton yang puas menontonnya. Tidak ada tuh Man terus menerus melalui televisi. Tapi, film 'beda' ini mampu membuktikan kualitasnya dengan masih bertahan di bioskop-bioskop besar kota Bandung.
Dilihat dari hal-hal diatas, saat ini Indonesia memang sudah punya film yang bisa dikategorikan sebagai mainstream ataupun juga sebagai sidestream. Tema horor dan remaja adalah tema film yang bisa disebut sebagai tema film mainstream Indonesia. Tema-tema ini mendominasi perfilman Indonesia dan juga sangat mempengaruhi acara-acara televisi saat ini. Selain TVRI dan Global TV, semua stasiun TV setiap harinya berlomba-lomba menawarkan berbagai konsep tayangan mistik dan berbagai sinetron bertema remaja. Keseragaman ini tidak berlebihan agaknya jika dikatakan mengekor sukses film "Ada Apa dengan Cinta" dan "Jelangkung".
Tahun ini jumlah produksi film meningkat 100% dari tahun lalu. Tidak kurang dari 24 judul film dari berbagai rumah produksi siap diproduksi tahun ini. Yah, kita berdoa sajalah semoga tema film tahun ini lebih kaya dan tidak melulu horor dan remaja. Hidup film Indonesia!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home