Sunday, June 18, 2006

butterfly,woman, and peace

tubuh perempuan memang merupakan medium advertising yang efektif, bahkan untuk sebuah pesan politik sekalipun.
difoto dengan kamera nikon S4.

hamdan yudanto
proctorgould@yahoo.com
Anak foto jadi Kabid Kine, kemana-mana tetep motret ini diambil cuma pake kamera hp loh S700i
Judulnya "The Blue Taste"
-mumu,the kine-kabid-

review film

by Irna N. Putri

Memento

You think I just want another puzzle to solve? Another John G. to look for? You're John G. So you can be my John G... Will I lie to myself to be happy? In your case Teddy... yes I will.

Ingatan.

Apa yang akan kita lakukan bila kita kehilangan kemampuan kita untuk membentuk ingatan?

Leonard Shelby (Guy Pearce), seorang mantan investigator untuk perusahaan asuransi berada dalam misi untuk menemukan pembunuh istrinya (Jorja Fox). Tujuannya hanya satu - balas dendam. Masalahnya, Leonard tidak memiliki ingatan jangka pendek. Bersamaan dengan pembunuhan istrinya, Leonard mengalami kerusakan otak. Walaupun ingatan sebelum kejadian tersebut baik - baik saja, namun Leonard tidak mampu untuk mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Untuk membantu dirinya, Leonard membuat catatan di foto Polaroid dan tato di sekujur tubuhnya. Dalam usahanya melacak pelaku pembunuhan istrinya, Leonard dibantu oleh Teddy (Joe Pantoliano) dan Natalie (Carrie-Ann Moss).

Dengan menggunakan alur mundur, Christopher Nolan mengajak kita untuk ikut merasakan dunia Leonard : seperti membaca buku dari halaman paling belakang - kita tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Pengeditan yang menghasilkan akhir sebuah adegan merupakan awal dari adegan sebelumnya membuat kita semakin menyelami dunia Leonard. Menampilkan beberapa adegan dalam warna hitam - putih juga membuat perbedaan waktu begitu terasa. Setiap adegan seperti memberi potongan dari teka - teki yang kita tidak tahu bagaimana susunannya dan menghasilkan finale yang tak terduga.

Memento adalah film yang mengingatkan kita sampai sejauh mana kita dapat mempercayai ingatan kita, yang terkadang kita manipulasi agar kita merasa lebih baik...

Menonton film ini memerlukan konsentrasi tinggi, karena itu singkirkan teman yang terlalu banyak bicara dan gantilah dengan semangkuk besar pop corn dan soda. Walaupun ada kemungkinan besar anda tidak akan menyentuhnya karena terlampau terpaku pada layar di depan ada, tenggelam dalam dunia Leonard Shelby.

Tapi jangan terlalu serius juga, karena Christopher Nolan sudah bersusah payah menyelipkan humor segar di beberapa adegan:

[Running] Okay, what am I doing?
[Sees Dodd also running]
Leonard Shelby: I'm chasing this guy.
[Dodd has a gun, shoots at Leonard]
Leonard Shelby: Nope. He's chasing me.

Tentu dia tidak ingin penontonnya mengerutkan kening sepanjang film berlangsung bukan?


Shinobi


What would you choose? Your love? Or your family honor and your responsibilities?

Berlatar era Tokugawa, dua klan ninja yang bermusuhan, Iga dan Koga, diberi mandat oleh sang shogun untuk memilih lima petarung terbaiknya dan bertarung sama lain. Permusuhan antar klan mereka nampaknya tidak dapat menghalangi Gennosuke (Odagiri Joe) dan Oboro (Nakama Yukie) untuk saling jatuh cinta dan menikah diam - diam. Hal menjadi buruk untuk keduanya ketika mereka terpilih untuk memimpin kelima petarung bagi masing - masing klan. Gennosuke dan Oboro, sebagai pemimpin bagi klan mereka harus memilih antara cinta dan tanggung jawab, sementara rencana shogun yang sesungguhnya mulai terungkap di depan mata mereka...

Kalau anda berharap film Shinobi akan penuh adegan laga layaknya film Kill Bill, anda tentu akan kecewa. karena film ini, sejalan dengan sub judulnya, Heart Under Blade, lebih mengetengahkan kisah cinta antara Gennosuke dan Oboro.

Namun, walaupun tidak banyak, adegan pertarungan a la ninja disuguhkan dengan koreografi yang sangat menarik dan indah untuk ditonton.

Shinobi bagaikan kisah
Romeo & Juliet dengan setting ninja. Pertentangan antar keluarga, cinta terlarang, tragic ending, akan anda temukan semua disini. Bisa dibilang, Shinobi adalah potret orang jepang zaman dulu. Dimana diatas cinta masih ada harga diri, dan diatas harga diri masih ada kesetiaan pada penguasa...

Jika anda menyukai film - film X - Men, maka anda akan menyukai Shinobi.

X-Men : The Last Stand


Marie / Rogue : What's wrong is I can't touch my boyfriend without killing him. Other than that I'm wonderful.

Kalau anda dihadapkan pada pertanyaan :

Ingin jadi manusia dengan super power atau tetap jadi manusia biasa?

Mungkin kita, layaknya anak kecil, akan berkhayal. 'Wah, kalau saya bisa menghilang layaknya Invisible Girl, saya akan mengintip pria tetangga super tampan yang sedang ganti baju...'

Para mutan dihadapkan pada pertanyaan yang kurang lebih sama : ingin tetap jadi mutan atau jadi manusia biasa. Para siswa Profesor Xavier (Patrick Stewart) dan mutan di seluruh dunia dihadapkan pada pilihan sulit ini. Mereka tenggelam dalam dilema. Obat untuk 'menyembuhkan' mereka telah ditemukan. Sementara itu, Magneto (Ian McKellen) yang berpendapat bahwa 'obat' ini hanyalah usaha untuk menyingkirkan ras mutan, membentuk tentara mutan bernama Brotherhood. Dibantu oleh sisi gelap dari Jean Grey (Famke Janssen) yang menyebut dirinya Phoenix, Magneto berupaya untuk menghentikan rencana tersebut. Perang antar mutan pun dimulai!

X-Men : The Last Stand disebut - sebut sebagai film terakhir dari film X-Men. Dengan durasi satu jam tiga puluh menit, film ini adalah yang paling singkat durasinya ketimbang dua film terdahulu. Dengan durasi sesingkat itu, sutradara Brett Ratner menampilkan banyak tokoh mutan baru, seperti Beast (diperankan dengan begitu kharismatik oleh Kelsey Grammer) dan Juggernout, yang sayangnya mengakibatkan nyaris tidak adanya pengembangan tokoh dan mengesankan penyutradaraan yang terburu - buru.

Walaupun lebih singkat, film ini mengandung lebih banyak action dan drama dibandingkan kedua film terdahulu. Hugh Jackman berhasil menyampaikan perasaan Wolverine yang tahu cepat atau lambat ia harus membunuh wanita yang begitu ia cintai kepada penonton. Cukup mengundang air mata, sebenarnya.

Bagi anda penggemar film action, anda tentu akan puas dengan special effect dan animasi CGInya yang sangat menarik untuk disaksikan.

Film ini mungkin agak terlalu dewasa untuk anak - anak, jadi jangan biarkan anak anda menonton tanpa ditemani orang dewasa.

Kusunoki Was Dead Long Time Ago


Kusunoki Masashige was samurai with full of loyalty. He was answering the call of Go Daigo Emperor to challenge the growing Ashikaga Clan. He knew that he could not win the battle, but the emperor wished to have a decisive battle rather than to have a peace with Ashikaga.Before Kusunoki masashige left for battle, first he visited his only son and told him :

"…If you retain a single word of mine in your ear, please do not go against what I now have to say. I think the coming battle will decide the fate of our land, and this will be the last time for me to see your face in this life. "When people learn that Masashige has been killed in battle, assume that our land is to be run by lord [Ashikaga] Takauji. But even if that happens, do not destroy our loyalty of many years and surrender to save your own life. As long as a young man remains alive in our clan, hide yourself near Mt. Kongo and fight the enemy…that will be your first filial duty…"

Eventhough, it was a bitter for him to face losing battle (He knew he would be lost) but still Masashige went for it till Ashikaga Takauji troops destroyed him at minatogawa.His son, Masatsura, was following his words. But, sadly after some years, His son was following his destiny to the death as well. Before that, he wrote a poem :

I could not return, I presume,
So I will keep my name,
Among those who are dead with bows.

Masashige and his son were dead long time ago, with their faith and high spirit.They're born only once, it was long time ago. And just only one Kusunoki Masashige in this world, now he's gone since long time ago.



-Earth is dead!-

Friday, June 16, 2006


Halo LFM.....

Salam kenal,
gw arief, biasa dipanggil mas arief, FT'98, Kru LFM'98, Mantan Seksi sibuk Fotografi dan Mantan orang yang ditugasin untuk tanda tangan semua surat LFM he..he...

Minggu kemarin gw hunting model, sengaja gw upload biar bikin Tomi, Aswin, Bengbeng/Wira, Novin, Bondan dan Iman pada iri.

Klo mau kenal dengan modelnya, dateng aja maen ke balikpapan :D

salam,
mas arief
Shawshank Redemption

Andi Taufan

Sebuah karya yang luar biasa dari Frank Darabont Karena merupakan film ketiga terbaik sepanjang masa setelah 1. Godfather dan 2. Lord Of The Ring Return Of The King. Seperti yang kita ketahui bahwa film ini diadaptasi dari novel karya Stephen King yang berjudul "Rita Hayworth and the Shawshank Redemption" Rita Hayworth menjadi figur karena Red (Morgan Freeman) memberikan sebuah poster untuk Andy (Tim Robbins) pasang di dinding selnya.
Film yang menceritakan kehidupan seorang banker, Andy dufresne di penjara karena menjadi tersangka atas pembunuhan istrinya sendiri. Andy yang merasa bahwa orang yang berada dipenjara adalah orang-orang yang tidak bersalah. Dan ia selalu berusaha mencari celah untuk mendapatkan kebebasannya.
Sebuah film yang brilian karena akting yang mengagumkan dari Morgan Freeman yang berperan sebagai Red. la di nominasikan dalam Oscar untuk aktor terbaik pada tahun 1995 tetapi tidak berhasil menang. (Tom Hanks memenangkannya dalam film Forest Gump.) Freeman bermain begitu menawan dalam setiap adegan yang diperankannya ia menghilangkan kebosanan dan olok-olokan dalam benak kita semua. Dan juga kita dapat melihat kekuatan dan soul dalam film ini yang sangat berbeda dengan film lainnya.
Tetapi Freeman juga tidak sendiri. Tim Robbins yang merupakan pahlawan, pemeran utama dalam film ini, Banker Andy Dufresne yang menjadi narapidana atas pembunuhan istrinya sendiri. Robbins mempunyai kualitas yang unik sebagai seorang aktor ia memberikan sentuhan yang mengagumkan pada karakter yang diperankannya. Dan mungkin ini adalah acting terbaik selama karirnya dalam perfilman. Hal itu dapat dibandingkan dengan film The Player (1992) sebuah film lain yang luar biasa, Mystic River (2003) ketika ia mendapatkan Oscar sebagai Best Supporting Actor.
Cinematography dari Roger Deakins yang luar biasa. Hampir tidak ada kesalahankesalahan kecil dalam film ini secara keseluruhan. Mungkin perbedaan yang sangat mencolok antara protagonis (Andy, Red, Brooks, dll) dan antagonis (The Warden, The Guards, dll) sangat mencolok terlihat. Selain itu akting Andy yang terlalu heroic dan jauh dari realitas. Dan mungkin "Redemption" merupakan suatu keajaiban. Tetapi itu bukan masalah yang besar.
Secara keseluruhan ini merupakan sebuah cerita yang menarik dan tidak boleh dilewatkan bagi mereka yangs sangat mengagumi arti sebuah persahabatan. Memberikan sebuah pengertian tentang arti kebebasan dalam hidup kita. Film persahabatan antara dua pria yang berbeda karakter yang mencoba bangkit dari keterpurukan menuju kebebasan walau hanya dengan sebuah kebenaran dan kesempatan yang sangat kecil
Salvador
Andi Taufan

Sebuah karya besar Oliver Stone yang terinpirasi dari pengalaman kehidupan nyata seorang jurnalis foto di El Salvador. Sebuah cerita ketika kediktatoran telah menginjak-injak HAM dan mengancurkan integritas sebuah bangsa pada awal tahun 1980.
Film garapan Oliver stone yang menceritakan kehidupan Richard Boyle (diperankan oleh James Wood) seorang pemabuk, pemakai obat-obatan, pengangguran, yang juga ditinggal pergi oleh istri clan anaknya sebagai seorang jurnalis foto lepas. Boyle telah berpengalaman mengikuti perang di Vietnam dan juga banyak mengetahui mengenai otoritarian di El Salvador. Boyle dahulunya pernah menulis sebuah cerita menarik di El Salvador mengenai salah seorang komunis untuk Koran di Amerika yang berjudul Patoon Of El Salvador. Dan sekarang ia ingin kembali ke El Salvador dengan mengajak sahabatnya seorang Dj yaitu Doctor Rock (diperankan oleh James Belushi) untuk kembali bekerja di sana, karena ia merasa bahwa semua penderitaannya di Amerika akan hilang ketika ia kembali ke Negara tercintanya yaitu El Salvador. Boyle yang tadinya hanya bertugas untuk mengambil foto-foto mengenai pembantaian dan perang saudara di El Salvador, terbuka matanya ketika istri dan keponakannya yang tinggal di El Salvador juga ikut terancam oleh kediktatoran tersebut.
Richard Boyle yang ditinggal oleh istrinya pulang ke Itali karena tidak tahan dengan Boyle yang hanya menjadi pengangguran. Hal ini dikarenakan karir Boyle di Amerika yang berantakan dan tidak lagi
mendapat kepercayaan dari kantor beritanya sebagai jurnalis foto lepas. Sedangkan disisi lain sahabat Boyle, Doctor Rock yang mengeluarkan Boyle dari penjara juga mengalami nasib yang tidak berbeda jauh dengan Boyle. Rock diusir dari rumahnya karena perselisihan rumah tangga dengan istrinya, yang menganggap Rock sudah terlalu tua untuk menjadi seorang Dj Rock n Roll.
Bagian yang menarik dari setiap film garapan Oliver Stone adalah ia memberikan sudut pandang setiap karakternya secara naturalis layaknya seorang manusia yang memiliki emosi dan hasrat. Seperti dalam film Salvador ini ia memainkan karakter Richard Boyle seorang jurnalis foto yang bekerja dengan mengambil foto-foto perang untuk dipublikasikan di New York, tetapi disisi lain ia juga memperlihatkan sisi humanis seorang manusia yang membenci penindasan oleh diktator-diktator di El Salvador tersebut. Sedangkan disisi lain stone tetap memperlihatkan fakta orang-orang barat yang memang seorang pemabuk dan suka bermain wanita. Sebagai contoh lainnya adalah film yang baru-baru ini beredar di bioskop yaitu Alexander, Karakter seorang Alexander the Great, ia merupakan orang yang begitu perkasa dengan kemampuannya dapat menaklukan seluruh dunia dimasanya. Mungkin hal itulah yang ada dibenak kita hal tetapi itu berbeda dengan pemikiran Oliver Stone, ia tidak hanya melihat Alexander dari satu sisi saja, ia juga memperlihatkan sisi lain dari seorang Alexander yang ternyata juga seorang yang biseks.
Suksesnya film ini juga tidak lepas dari akting mengagumkan yang dilakukan oleh James Woods dan James Belushi yang berperan sebagai Doctor Rock dalam film ini. Dapat dilihat dalam matanya mereka memainkan karakternya seakan ini merupakan sebuah kisah
nyata kehidupan mereka. Hal itulah yang membuat film ini begitu
menarik.
, Ketika kita melihat dari sisi isi cerita yang berlatar belakang tahun 1980, satu hal yang membuat kita kagum adalah jiwa fotografer professional yang dimiliki oleh Boyle dan John Cassady (diperankan oleh John Savage) untuk selalu berupaya mendapatkan setiap sudut gambar yang terbaik meskipun dengan mengorbankan nyawanya, "If your picture wasn't good you're not close enough" Robert Capa. Kemudian kita juga dapat melihat dalam film ini persahabatan seorang fotografer terhadap sahabatnya yang bersusah payah kembali ke New York hanya untuk menerbitkan gamabr-gambar yang diperoleh oleh Cassady.
Hal lain yang menarik dari Salvador adalah pengambilan gambar setiap scene nya yang begitu menawan. Seperti kehidupan rakyat kecil di El Salvador yang berusaha untuk tetap bertahan hidup. Mereka diperlihatkan tidak jauh berbeda dengan rakyat kecil di Vietnam clan Chile, mayat-mayat yang digeletakan begitu saja setelah tersiksa terlebih dahulu membuat kita yang menonton ikut menyelami film tersebut dan menjadi terharu karenanya. Oliver Stone membuat setiap scene dalam film ini secara detail, meskipun itu hanya sebagai background. Tetapi background tersebut yang membuat filmnya menjadi begitu menakjubkan. Hal ini juga ditunjukan oleh Oliver stone dalam Any Given Sunday , ia membuat sebuah tim ""Miami shark" menjadi karakter yang seakan hidup. Meskipun tidak dijelaskan latar belakang tim tersebut clan berbagai kejuaraan yang pernah dimenangkannya, tetapi hal itu dapat ditutupi oleh Stone dengan menata setiap backgroundnya secara detail sehingga jiwa sebuah Miami Shark terlihat.
Seperti kita ketahui bahwa Banyak sutradara Amerika membuat film yang selalu membanggakan nama besar negaranya, memperlihatkan kehebatan bangsanya clan menunjukan kekuatan
- tanah airnya, tetapi hal itu sangat berbeda dengan Stone. Salvador
sebuah Film yang bernuansa politik ini dibuat dengan tujuan mmemperlihatkan bahwa US bukannya hanya Negara adikuasa yang selalu menjadi pahlawan, tetapi juga memiliki kelemahan yaitu selalu tidak puas dengan apa yang didapat. Sebuah Negara besar yang berusaha menguasai Dunia salah satu contohnya adalah El Salvador secar tidak langsung. Stone menjelaskan bahwa setiap tindakan pemerintah US yang ditulis dalam berita-berita US adalah Negara yang "baik hati" dengan memberikan batuan-bantuan clan pertolongan kepada negara-negara yang bermasalah. Stone membukakan mata kita akan itu semua, dibalik niat baik tersebut tetapi secara tidak langsung mereka memanfaatkannya clan perlahan menguasainya.
Di film ini kita dapat melihat posisi seorang Oliver Stone yang berusaha mengkritik negaranya. Amerika yang mencoba menguasai El Salvador dengan cara Otoritarian dimana pemerintah US mendukung calon presiden dari El Salvador yang berjiwa diktator dengan mengatakan mengirim bantuan perang tetapi disisi lain dimanfaatkannnya untuk menguasai El salvador dengan memegang salah seorang kandidat presidennya yaitu Major Max (diperankan oleh Tony Plana). Tetapi didalam kejamnya tindakan pemerintah US Stone memperlihatkan bahwa masih ada warga Amerika yang juga tidak setuju dengan tindakan pemerintahnya, seperti halnya Boyle dalam film ini.
Seperti kebanyakan film Oliver Stone yang bergenre drama, film ini juga perpaduan drama, thriller, dan perang yang dikemas oleh stone dengan begitu menakjubkan sehingga kita sebagai penonton ikut dapat merasakan jiwa dari film ini. Konflik yang terlalu banyak dan menggantung seperti konflik Boyle dengan kelurganya, Konflik dalam diri Boyle, otoritarian Major Max dan dukungan politik pemerintah US membuat film ini tidak berfokus pada satu hal, tetapi hal tersebut dapat ditutupi dengan kepuasan yang didapat oleh penontonnya.
Salvador ini dibuat oleh stone sama halnya dengan film-film Boyle yang banyak menceritakan konflik-konflik dalam pemerintahan Amerika Serikat. Platoon, Nixon dan JFK adalah contoh lain film yang dibuat sebagai introspeksi diri pemerintah Amerika Serikat. Tetapi banyak film garapan Oliver Stone lainnya seperti Wall Street, Any Given Sunday, Alexander, Salvador ataupun Larry Flint vs The People (Stone hanya menjadi produser dalam film ini) yang memperlihatkan ciri khas dari film Oliver Stone sendiri yaitu ending dari film tersebut, dimana ia membiarkan penonton yang berimajinasi untuk menarik kesimpulan dari setiap filmnya.
Salvador sebuah film yang digarap tahun 1986 ini mungkin merupakan film yang kontroversial tentang peran US di Amerika Tengah, karena perannya yang membantu kubu diktator untuk menguasai El Salvador. Stone yang memperlihatkan apakah demokrasi masih ada di Amerika ini seperti yang terlontar oleh Michael Douglas dalam film Wall Street "So Bud, do you think we're living in a democracy". Mungkin film ini dibuat bukan hanya sekedar untuk meraup keuntungan saja, tetapi juga terkandung makna yang mendalam.(Feblst,2005)
Riding the Bullet (2004)
Director : Mick Garris
Writer : Stephen King & Mick Garris
Alan Parker (Jonathan Jackson) adalah seorang mahasiswa seni tipikal yang rnenyukai hal-hal yang berbau kegelapan dan kematian. la sering, berandai-andai bagaimana jika ia mati nanti dan bagaimana orang-orang terdekatnya menangisi kepergiannya, terutama kekasihnya, Jessica (Erika Christensen). ,
Tidak disangka sang kekasih memutuskan hubungan mereka tepat di hai-i ulang tahunnya. Tentu saja hal itu dilakukannya untuk memberi surprise party untuk Alan. Namun sang cowok sudah keburu down dan memutuskan untuk melakukan uji coba bunuh diri di bak mandi dengan cara menyilet nadinya (dengan ditemani ganja). Tepat saat itu, "Surprise!", gerombolan temannya menerobos masuk kamar mandi dengan kue ulang berlilin.
_^_i:._ Y 1: ;::~ .. j ~ ~ ..., v+..-.... '~i.uella gal uil ITici&nlkan kai Glttl kaget. la pun
6ari«. Sang c;cweic, iileslapun mera6a kasihan, memutuskan untuk break sementara dari hubungan mereka untuk memberi Alan pelajaran. Hadiah ulang tahun tetap diberikan, yaitu dua tiket menonton konser The Beatles.
Ketika Alan tengah bingung akan mengajak siapa ke konser itu, datang kabar bahwa di kota lain ibunya (barbara Hershey) terkena stroke dan diopname. Khawatir akan nyawa ibunya, ia pun merelakan tiket konser itu kepada teman-temannya dan memutuskan untuk pergi ke tempat ibunya deagan cara hitchhiking.
' Dalam proses hitchhiking inilah ia menemui kejadian-kejadian yang seolah-olah akan mengantarkannya kepada kematian yang sesungguhnya. la menumpang seorang hippie yang ugal-ugalan di jalan raya dan tiiaak peduli nyawa sendiri dan orang lain, lalu seorang kakek yang sangat tua yang tampak seperti akan mati begitu saja karena serangan jantung saat menyetir, dan seekor serigala. Anehnya pada saat-saat demikian ia merasa sangat takut mati, tidak seperti ketika ia akan menyayat nadinya sendiri.'
Petaular.gar. hitchhikingnya berlaniut ke sebuah pemakaman, sebuah taman ria, dan sebuah mobil tumpangan la-Ir.nya dimana ia menyadari bahwa sang pengendara, George Staub (David Arquette) sudah mati. Klimaksnya si mati pun kemudian mengajukan dua pilihan kepadanya, "Since you wanna die so much, I'll give you a choice, choose between your life and your mother's."
Pilihannya sendirilah yang kemudian menvadta:karr Alan bahwa kematian itu
tidak indah ataupun keren dan walaupun ia sering berangan-angan meiakukan hal yang
luar biasa, kenyataannya la hanyalah anak penakut yang ketika remaja saja tidak berani
menaiki wahana roller coaster Riding the Bullet di taman ria terdekat.
Moral film ini cukup dalam, namun dapat dikemas dalam gaya yang kocak meskipn genre yang sebenarnya adalah horror (sesuai dengan bukunya yang ditulis oleh Stephen King). Penggambaran alter ego Alan sangat manusiawi (tidak tipikal seperti angel dan demon alter ego sinetron-sinetron Indonesia) dan mengundang tawa, begitu pula dengan penggambaran dewa kematian Grimm reaper yang seolah-olah memandang remeh nyawa manusia. Harga nyawa manusia memang relatif, bisa tak terharga atau tak berharga, tergantung dari sudut pandang siapa. •
Anggapan Alan bahwa kematiannya akan menjadi hal yang luar biasa ya_r.g menimbulkan impact pada orang-orang sekitarnya saya rasa banyak diangan-angankan oleh orang-orang galau (atau sok galau) lainnya. Memang sifat dasar manusia untuk selalu membutuhkan perhatian, terutama di saat ia sedang down atau dikecewakan. la tidak berpikir bahwa impact yang akan ia timbulkan pada orang-orang di sekitarnya itu adalah kesedihan.
Hal itu yang Alan sadari saat ia harus memilih antara nyawanya dan nyawa ibunya. la sangat menyayangi ibunya namun di sisi lain ternyata ia juga tidak serius, ingin mati dan masih ingin melakukan banyak hal dalam hidupnya, d'an ia tahu bahwa ibunya juga menginginkannya menjadi orang yang sukses. Dan ia pun menyadari bahwa ia harus membuat pilihan seperti itu adalah konsekuensi dari tindakannya sendiri yang tidak bertanggung jawab (ia berpikir apakan mungkin ia berhalusinasi akibat ganja, atau ini adalah benar-benar hukuman Tuhan akibat percobaan bunuh dirinya)
Film ini akan menghibur penonton sekaligus membuat mereka berpikir bagaimana jika mereka dihadapkan pada pilihan seperti saat itu. Kebanyakan orang tentu sayang pada ibu mereka namun juga sayang pada nyawa mereka sendiri, walaupun mereka serina melupakan hal-hal tersebut karena haus perhatian, atau ingin predikat 'keren. dark, ygothic, sidestream, galau' dan predikat-predikat tidak penting lainnya. Hidup ini indah, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
(Dide andPrej*udice
Wovie Adaptation
English Literary Masterpiece versus American Chicklit
an Essay by .Asih Nurul(174o453

Menikmati sebuah novel tentu saja tidak sama rasanya dengan menikmati sebuah film. Ada unsur-unsur yang hanya terdapat dalam novel, dan sebaliknya. Bagaimana halnya dengan sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel? Tentu saja juga berbeda, makanya disebut sebagai adaptasi, ada unsur penyesuaian di dalamnya.
Penyesuaian terhadap apa?
Bisa terhadap macam-macam, entah selera penonton, entah budget yang tersedia dan tetek bengek lainnya. Namun menurut saya pribadi karena adaptasi yang dimaksud di sini adalah adaptasi dari novel, maka selayaknya penyesuaian tersebut dilakukan dengan acuan novelnya.
Efek dari penyesuaian in] tergantung dari kelihaian si pengadaptasi tersebut.
Novel berjudul Pride and Prejudice karya Jane Austen telah lebih dari sepuluh kali diadaptasi ke bentuk motion pt cture oleh berbagai negara balk film, miniseri, maupun parodi. Adaptasinya yang paling anyar adalah film produksi Hollywood besutan sutradara Joe Wright keluaran Universal Pictures tahun 2005. Film ini memasang Keira Knightley dan Matthew Macfayden sebagai tokoh iitan:a Elizabeth Bennet dan Fitzwilliam Darcy.
Film ini cukup sukses secara komersil dan berhasil dinominasikan di ajang Golden Globe untuk kategori Best Motion Picture untuk kategori Musical or Comedy dan Best Performance by an Actress in a Motion Picture juga untuk kategon' Musical or Comedy (Keira Knightley). Selain itu telah disabet pula gelar Outstanding Costume Design (Jaqueline Duran) dari Sale/ite Award dan Best New Filmmaker (Joe Wright) dari Boston Society of Film Critics. Rating yang diberikan oleh para penonton pun baik. Tentu saja, dengan bantuan para fans Knightley, bintang cantik yang memang sedang tenartenarnya.
Menonton film versi Hollywoodnya ini, penonton yang belum pernah membaca novelnya akan membayangkan bahwa versi novel dari film tersebut adalah novel tentang keluarga petani dengan anak perempuan cantik dan pemberontak yang kemudian
mengalami love-hate relationship dengan seorang bangsawan kaya raya yang kuper dan sombong. Cerita cinta yang kilat dengan karakter yang kuat dan saling melengkapi plus happy ending. Paket standar Hollywood yang menghibur.
Namun para penonton yang berasal dari fandom novelnya akan pulang dengan perasaan sebal dan tertipu karena film yang mereka tonton bukanlah versi motion picture dari novel masterpiece sastra inggris yang mereka kenal, melainkan sebuah chicklit pseudo-inggris buatan Amerika. Menonton film ini adalah menonton drama percintaan klasik yang bermutu yang memiliki rasio yang seimbang antara adegan yang berkesan dan adegan yang membosankan.
Bukan begitu novelnya.
Novel tersebut menipakan masterpiece klasik yang dapat disejajarkan dengan novel-novel Charles Dickens karena dianggap sebagai breaktrough dalam mengkritik pergaulan kelas sosial menengah ke atas di Inggris saat itu.
Dalarn Pride and Prejudice-nya Austen mengemukakan kegeliannya pada kesombongan dan prasangka masyarakat inggris yang la sampaikan dengan halus lewat jalinan cerita Lizzy dan Darcy yang penuh diplomasi terselubung, kesalahpahaman dan cinta yang berkembang tanpa disadari. Sisi humor dari cerita pun muncul akibat pembelaan akan perbedaan pandangan dan cara bersikap mereka terhadap kelas sosialnya
Keluarga tsennet bukan keluarga petani, namun keluarga kelas menengah ("lower than Darcy's class, but not low-classed") dengan lima orang putri yang siap dinikahkan. Tetapi dalam film ini kesan yang tersampaikan adalah kesan hidup sebagai petani. Bagaimana tidak? Fakta dalam film menunjukkan demikian : babi bebas berkeliaran dalam rumah (oh, there you are Babe, our dear gallant pig), tuan rumah berbondongbondong menyambut sendiri tamunya di malam buta dengan pakaian tidur (padahal seharusnya mereka punya pelayan untuk membukakan pintu), anak-anak perempuan hanya mengenakan korset ketika pesta dan tidak meyisir rambut mereka (mungkin
supaya efek blower-nya lebih terasa). Benar-benar lebih mirip keluarga petani koloni inggris di Amerika, lebih cocok untuk setting film Far and Away.
Hollywood memang Jell melihat potensi profit. Knightley mungkin terlalu menarik dibanding deskripsi Austen tentang tokoh Elizabeth Bennet. No problem. Pride and Prejudice merupakan novel inggris. Keira Knightley adalah aktris inggris, dengan aksen british ash yang keren dan popularitas yang tinggi. Both mean big money, mungkin begitulah kira-kira pikiran para produser Hollywood di Beverly Hills sana. Teatu saja bagi para fans Knightley, film mil akan menjadi sangat menarik karena dapat melihat sang idola memerankan peran yang berbeda dari peran yang biasa la lakoni. Apa iya? Tidak juga. Lizzy Bennet yang ia perankan tetap saja tomboy (alasan kenapa la tetap dipakai), dan terlalu ekspresif sehingga terlihat kasar. Tentu saja penonton menyukainya, itulah Keira Knightley yang mereka kenal.
Kesan yang ingin ditonjolkan adalah kesan bebas dan dinamis pada diri Keira Knightley, bukan pada karakter Lizzy Bennet dalam novel.
Lizzy dalam novel Austen tidak cantik namun menarik, tidak tomboy namun berar.i, la dewasa, smart dan sensible, dan memilih untuk diam-diarn menertawakan kekonyolan lingkungan sekitarnya, dan mengemukakan pendapatnya dengan halus namun tegas dan mengena.
Lizzy yang diperankan Knightiey sebaliknya, berapi-api, tomboy, dan manner-nya terkesan liar (duduk sila di atas dipan, menggerai rambut diluar rumah), kesan smart-nya tenggelam karena la lebih banyak digambarkan melamun dengan background countryside inggris yang canti;;.daripada digan:barkan berdialog dengan pintar,
Darcy yang seharusnya menjadi karakter kuat dan charming, menjadi terkesan datar, lemah dan tersiksa; MacFayden selalu berdialog dengan terburu-buru dan tampak mual (I'm concentrating... poke me and I'll puke).
Darcy yang diperankan MacFayden dan Lizzy yang diperankan Knightley lebih tepat menjadi karakter Mary dan Collin Crevey dari novel Secret Garden.
Mr. Bennet, ayah Lizzy yang diperankan oleh Donald Sutherland, terkesan terlalu modern dan lebih tampak seperti mad scientist (versi ganteng dari Einstein lengkap dengan perpustakaan dan koleksi serangganya,) daripada seorang middleclass gentleman. George Wickam, tokoh antagonis penting dalam plot novelnya, hanya dimunculkan dalam 3 menit ( kali ini didandani seperti Legolas dari Lord of the Rings, versi serdadu inggris), dan secepat itu pulalah konflik kawin larinya dengan Lydia Bennet diselesaikan.
Charlotte Lucas, sahabat Lizzy, digambarkan sebagai seorang wanita desperate yang sama sekali tidak menarik, sangat timpang dengan Lizzy (stereotipe inferior sidekick yang hanya ada untuk menonjolkan tokoh utama). Padahal dalam novel, kedua sahabat ini saling mengagumi idealisme masing-masing dan alasan Charlotte menikahi Mr. Collins yang ditolak Lizzy bukanlah karena keputusasaan melainkan karena alasan rasional.
Charles Bingley seharusnya nampak terlalu balk, bukan bodoh (dan cara tertawanya seperti orang terbelakang), dan Jane Bennet bahkan sama sekali tak berkesan.
Meminjam istilah dari dur.ia fanfiction, hampir semua tokoh penting dalam film ini OOC (out of character). Beberapa karakter yang tetap pada karakter ceritanya adalah Lady Catherine de Bourgh (diperankan oleh Judi Dench), Mrs. Bennet, Mr. Collins, dan Lydia Bennet.
Mungkin jika ditotal, dari 135 menit durasi film, 15 menit habis dipakai untuk adegan Lizzy melamun memandang kejauhan dan 15 menit lag] untuk close up-nya tersenyum dan tertawa cekikikan memamerkan gigi gingsulnya. Mau tak mall, non-fans Knightley akan terganggu, karena efek dari penyediaan waktu untuk menonjolkan sang aktris tersebut berefek pada jalan cerita yang seperti melompat-lompat sehingga penonton tidak diberi kesempatan untuk mengenal para karakter. Tak heran dialah satu-sat,uiya yang mendapat nominasi untuk penghargaan. Aktor dan aktris lainnya tidak mendapat kesempatan untuk menunjukkan akting mereka.

Tak semua kekurangan diakibatkan oleh para aktor dan aktrisnya Script dan kostum yang ditampilkan pun bertentangan dengan sejarahnya.
Kostum dan aksesori yang digunakan seperti datang dari berbagai zaman mulai dari Renaissance hingga tahun 90-an (gaun Ms. Bingley pada adegan ballroom dance, lebih mirip gaun spaghetti strap modern daripada gaun abad 18), (mungkin budget untuk kostum habis untuk fee bintang-bintangnya?).
Sangat mengherankan film ini dapat memenangkan outstanding costume design. Mungkin gelar tersebut didapat menilai usaha sang costume designer dalam menonjolkan kepribadian Lizzy yang khas dari saudari-saudarinya. Namun penonjolan ini malah terkesan janggal dan tidak sesuai dengan zamannya. Dalam film Lizzy tidak pemah mengenakan top] sama sekali kecuali ketika la berada di gereja (padahal mengenakan topi adalah tanda gadis yang sopan), ia tidak mengenakan sanmg tangan sebagai pelengkap gaunnya yang berlengan pendek (lagi-lagi tidak mengikuti kaidah kesopa_nan yang berlaku), la juga berdandan 'apa adanya', tidak rnengganjal dadanya supaya lebih penuh (kali ini tidak mcngikuti prinsip kcindahan saat itu, cntahlah barangkali supaya figumya terlihat bak supermodel) Tone warna pakaian yang dipilihkan pun nyaris selalu gelap (hijau tua dan cokelat), lebih mirip seperti pakaian lower class daripada middle class. Kesan yang didapat memang tomboy. Tapi sekali lagi, tokoh Elizabeth Bennet dari novel Pride and Prejudice TIDAK tomboy.
Script pun seperti bingung antara mengambil dari novel atau tidak. Hasilnya adalah campuran antara dialog novel, modifikasi dari dialog novel, dan dialog yang dibuat-buat sendiri. Kesannya? Tidak jelas, seperti bahasa inggris modern yang diretouch oleh vocabulary yang antik dengan manner pengucapan dan gesture yang juga lebih modern. Tengoklah dialog dan manner Bingley yang dengan bebasnya masuk ke kamar Jane, atau adegan Darcy yang sekonyong-konyong muncul menemui Lizzy yang masih mengenakan gaun tidur di ruang baca.
Barangkali sang scriptwriter, Deborah Moggach, menganggap bahwa mengambil dialog langsung dari novelnya terlalu mudah, atau membuat dirinya tidak berperan banyak. Maka dengan sengaja dimodifikasinya dialog itu tanpa menyadari bahwa ia bukanlah Jane Austen yang memang hidup pada zaman itu dan berbicara dengan bahasa macam itu sedangkan dirinya tidak. Revisi yang dilakukan oleh Emma Thompson (yang pernah menulis script untuk film kualitas Oscar yang juga dari novel Austen, Sense and Sensibility), kemudian pun tidak banyak menolong.
Satu lagi yang boleh disalahkan adalah durasi film yang terlalu singkat untuk adaptasi novel yang cukup dalam ini. Boleh dibandingkan dengan Pride and Prejudice versi BBC yang berdurasi 300 menit (dengan Jennifer Ehle sebagai Lizzy dan Colin Firth sebagai Darcy), durasi tersebut cukup untuk menggali karakter masing-masing tokoh dan jalinan cerita serta moral di dalamnya.
Setting boleh dipuji karena keindahannya. Pemilihan lokasi untuk Pemberley dan Longbourne sudah tepat, meskipun pemandangan countryside yang indah tersebut kemudian hanya digunakan sebagai background Knightley yang tengah melamun, dan klise (girls ialk dalam selimut antara Lizzy dan Jane? Hujar_ di gazebo saat Darcy melamar Lizzy? So CIICI7ed American, bahkan dari love-hale chemistry diantara kedua tokoh ini pun sangat klise Amerika, saya tidak akan kaget bila mereka menyelipkan adegan ciuman saat sedang berdebat... untunglah tidak).
Angle kamera yang digunakan pun balk dan dapat menangkap momen-momen yang sulit difilmkan seperti adegan ballroom dance dan adegan Lizzy yang berputarputar di ayunan (mcski agak janggal juga buat saya : ayunan tersebut dipasang tepat di pintu masuk kandang ternak... lalu bagaimana cara kereta, gerobak dan ternaknya lewat? Barangkali sang sutradara merasa bahwa penonton akan cukup puas dengan pemandangan siluet Keira d: ayunan dengan gerbang arched stone yang indah sebagai frame-nya sehingga tidak akin mempertanyakan hal semacam ii), angle eksperimentalnya berhasil, pantaslah diganjar penghargaan Best New Filmmaker dari
Boston Society of Film Critics dan Best Edited Feature Film kategori Comedy or Musical dari American Cinema Editors, USA
Melihat dari eksperimen angle kameranya -itu , mungkin maksud Joe Wright adalah menciptakan versi Pride and Prejudice yang lebih ngepop, baru dan segar. Namun niatan itu tanggung karena film ini mengambil setting periode yang sama dengan novelnya maka selayaknya disesuaikan sesesuai-sesuainya.
Bila ingin bereksperimen, contohlah Gurinder Chadha dengan semi-parodinya Bride and Prejudice, yang jelas jelas berbeda setting-nya (bahkan judulnya pun diplesetkan), yang jelas jelas pula memiliki excuse untuk merombak besar-besaran dialog, setting dan koshimnya. Atau ambil resiko yang lebih besar seperti Romeo and .Juliet versi Leonardo DiCaprio yang mengadopsi langsung dialog namun memindahkan drastis setting zamannya.
Kesimpulannya film Pride and Prejudice ini harus dinikmati terpisah dengan novelnya, karena meskipun usahanya boleh juga, adaptasinya tanggung berat. Tap] memang chicklit ameril:a selama-lamanya akan lebih populer dan disukai daripada :iteratur masterpiece inggris.
Memoirs Of A Geisha
by Mischa Guzel Madian
( Spoiler Alert! Harap tanggung sendiri akibatnya... )
Baru sekitar sebulan yang lalu gue tamatin novel ini, buka koran, eh ternyata ada review filmnya. Memori gue masih fresh banget, dan gue ngerasa novelnya emang enggak terlalu spektakuler. Kisah cinta berlatar Jepang, kehidupan malam, dan perang. Titik. Setengah Plan, baca aja, gue yakin lo semua udah bisa nebak endingnya, ya masa sih cerita dari Chiyo yang menderita terus berakhir menjadi Sayuri yang tragis? Bisa ditebak, nih novel lumayan ngehype karena penulisnya orang bule lulusan Harvard yang ngedalemin budaya Jepang~.' Tapi, ya itulah, ceritanya hambar dengan kejutan yang kurang kena. Tapi dibalik itu, ngerti juga nih apa sih yang namanya Geisha itu, bukannya ngeres, tapi selama ini di benak, gue ( n mungkin lo juga ) kan ga jauh jauh dan "belut masuk gua" ( pengandaian yan~
menarik, Mameha-san! ). Dan gue jadi bisa bayangin gimana keadaan malam kota-kota d~ l

Jepang, pasti rame tuh, dimana rumah teh dan geisha menjadi hiburan pilihan.
Tapi sayang sekali, semua bayangan dan harapan gue tentang novel yang biasa aja ini tetapi menjadi menarik karena mengupas sisi lain geisha, hancur di tangan Rob Marshall. Sialnya; dia malah terlalu lama menyorot persaingan Hatsumomo-I abu dengan Mameha-Sayur4I sampai-sampai adegan proses terbakarnya Okiya Nitta terasa terialu laambaaaaaatt>
S
Bukankah persaingan karena in', dengki, dan harta sudah banyak dirilis dengan berbagat .

macam judul lain? Tidak perlu meng-Hollywood-kan action scene tersebut, toh bukan itu kok
>
rasanya yang dicar:. Adegan-adegan seperti perjalanan Sayuri dan rumah teh ke famah teh;;
suasana berbagai rumah teh, dan peibedaan keadaan antara pra dan pasca perang ;kurang. terasa. Ambii contoh, di novel, minimal gue ngitung ada 4 rumah teh yang sering disebut;
1f
dari yang besar dimana Sayuri sering -bertemu Kolonel sampai tempat kunuh tempt pertemuan Sayuri dengan Dokter Kepiting. Kok rasanya settingnya itu-itu aja, :kurang mengeksplorasi "panggung".dimana geisha "menjual" dirinya.
Bisa dilihat lagi dari keadaan Gion ( bagian-kota dimana banyak Okiya dan rumah teh ) yang
.
hanya sekelabat masuk frame, dan terasa kurang Jepang. Malah, ketika keadaan pasca perang


dan tentara An~erika masuk, bayangan gue sama hasil di film agak melenceng. Di novel; disinggung bagaimanatelah-menjadi kurnuhi;ya Gion yang dulunya elok dan anggun: Dimana;

cahaya -rumah teh buat ielaki berduit -bak cahaya lampu buat laron: Feel -rarnai; megah,
anggun, dan mistik dari Gion sama sek,ali_ tidak tertangkap: Kurangnya-penggarapan set
di masa jaya tidak memberikan efek kontras setelah Jepang kalah perang. Kok lebih kelihatan
"seru" pas tentara amrik masuk _ya? Apa Rob Marshall memang -sebangga itu atas;
kemenangan Amerika-setelah mengebom habis Hiroshima dan Nagasaki? Lagu - lagu swinA
.
lawasaemaeam:Erank Sinatra_amat_sangat tidak z-oc.Qk.menggambarkan:k.esusahan:keadaan;`
individu-kebanyakan Geisha yang terpaksa ' gantung kimono " dan. menjadi buruh pabr.iO'
Fokus di novel adalah betapa beruntungnya Sayuri dan Mameha bisa selamat dari perang ark `
hidup nyaman bila dibandingkan dengan rekan Geisha mereka, bukan pesta kernenangan tentara Amerika di Gion.
Plus, pelengkap=pelengkap seperti kimono clan -riasan lagi-lagi kurang diperhatikan, padahal
.
sang novelis bisa menjabarkan tiap lekuk indahnya kimono sampai I halaman.penuh! Boro"% boro, di filmnya aja, kimononya nyaris tidak pernah terlihat, hanya bagian tengkuk dan dada
.,
saja. Sinematografi yang kurang bagus bisa di_jadikan kambing hitam, mungkin costume; designer sudah susah payah menjabarkan tiap kimono yang ada, tapi kelihatannya kerjanya;
,
sia-sia, toh kimono terlihat biasa aja karena pengambilan angle yang kurang tepat. Dan gue kira itu juga kok, alasan feel Gion menjadi hambar. Catatan tambahan buat Rob, lagu-lagu`t pengiring adegan juga masih terasa terlalu barat. Gue kaya denger lagu barat di remix' memakai alat musik Jepang. Malah kadang -terlalu oriental hingga seperti dipaksakan darfi
:
:
.
:
Ironisnya, akibat penggarapan yang kurang, pandangan gue soal geisha tidak banyak berubah
.
setelah menonton film, tidak heran banyak orang Jepang ash yang mengumpat karena budaya mereka di gagahi dua orang bule. T'unjukin dong nilai seni dari seorang geisha, nilai budaya; proses Mizuagc~ ( lelang keperawanan ) dan persaingan tawar menawar Dokter Kepiting dengan Kolonel, bukan hanya adegannya. Juga proses diangkatnya Sayuri menjadi anah Okiya Nitta, bukan adegan emosi Hatsumomo. Dan tunjukin perjuangan Sayuri bertahart
hidup di rumah pembuat kimono, bukan hanya menunjukan adegan klise cinta Hollywood dr .; `
akhir. Sekarang gue jadi semakin bingung membedakan geisha dan whore. Padahal Arthu~ Golden telah membantu bayangan pembacanya, kan sayang citra geisha menjadi luntur gara+ gara Rob Marshall.
Casting.yang ( katanya ) bermasalah karena pemilihan aktor-yang non-Jepang tidak menjadi masalah buat gue. Cuma, kok rasanya kecantikan Sayuri ( diperankan oleh Zhang Ziyi ) kalah\'
malah menyentuh lagu Cina.

ya dengan Hatsumamo ( Gong D }, iunmm, apa karena selera gue? Hehe. Acting Ziyi, Li ,
dan Michelle Yeoh ya-ng mennerankan iVfarneba lebih dari cukup, feel yang gue dapet dart .
-novel kental terasa di mereka bertiga, tapi mungkin make-up dari Michelle Yeoh harus ie6ilii .
memperlihatkan perbadaan urnur yang tidak teriaiu jauh dengan Hatsumamo dan Sayua-i, -yaR
.
Yeoh memang telah "berusia". Dua jempol buat Si::uka Ohgo, pemeran Chiyo yanIt menggetnaskan. Bisa jadi the-next Zhang Ziyi nib. Andai saja Ken 'YVatartah.e lelaih.misterius, .tolcoh. Kexua yang di.idarn-idamkan. «leb.. Sayuri_ -lebi)t masuk mengacu pada nc3vehaya;
l
Watanabe -disini terlihat terlalu _riang; ~ian keseringan terscnot kamera, sosok Ketua menjadt .

pudar, hanya terlihat -sebagai Qrang : "tua yaffg doyan>-datm muda. Padahal aura Watanabe di,
.
film Last Samurai gue rasa udah cocokbanget memeranlean Ketua.
Akhir kata, gue cuma bisa•menyesal telah membaca terlebih dahuIu dan langsung menonton, coba kalo gue udah •agak Iupa sama noveInya, film Memoirs Of A Geisha dapat menjadi ,tontonan ringan bergenre drama-einta standar yang berfungsi sebagai pembunuh wak~tu d>r
.
kos.
Mainstream-Sidestream Amerika Serikat
Karina Miatantri
Mainstream vs Sidestream. Populer vs MarjinaL Common culture vs Counter culture. Apalah namanya. Adanya suatu budaya tandingan yang menjadi penyeimbang dari apa pun yang bersifat umum. Perdebatan tentang masalah ini tampaknya tidak pcrnah mCnCmukan titik 3cias. Apakah ada batasan yang jciaS dari scmuanya? Mungkinkah untuk meng pin point-kan perbedaan-perbedaan itu? Bahkan, sebenarnya, perlukah kita memberi batas untuk menentukan mainstream atau sidestream? Bukanl:ah semuanya merupakan suatu kesatuan yang hanya berputar mengikuti waktu dan sewaktuwaktu segala sesuatunya dapat berubah, baik itu musik, tari, film, atau jenis seni apa pun?
Amerika Serikat. Sebuah negara dengan penduduk lebih dari 290.000.000 orang. Sebuah negara yang begitu berkuasa sehingga produk dan kebudayaannya tersebar dan mercsap ke hampir seluruh dunia. McDonalds, Baywatch, sitkom, Playboy .... Liberalismenya begitu kuat sehingga berhasil menciptakan suatu iklim dimana semua orang berlomba-lomba untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Kapitalisme modem.
Kapitalisme modem selalu dikaitkan dengan pencarian labalprofit. Sistem ckonomi inilah yang tampaknya paling dominan di dalam dunia ini. Di scbagian besar bidang industri yang ada pasti pada akhirnya selalu mengutamakan pencapaian keuntungan yang semaksimal mungkin. Begitu juga halnya pada industri film. Meski pun, seperti yang telah disebutkan di atas, hal ini tidak berlaku untuk semua industri. Dalam hal ini, tidak semua produser film mengutamakan-kasarnya-profit.
Membicarakan perfilman Amerika, yang terlintas pertama-tama dalam pikiran kebanyakan orang pastilah Hollywood. Warner Bros., 20"' Century Fox, MGM, Walt Disney, Touchstone, dan Paramount Pictures hanyalah beberapa contoh dari sekian banyak major production houses di Hollywood. Sebagai distributor, salah satu contohnya adalah Miramax. Perusahaan seperti ini hanya berperan sebagai penyalur atau pendistributor film, dan bukan pemroduksi. Mereka mencari film-film yang bagus dan potensial dari seluruh dunia lalu mendistribusikannya secara luas. Contoh-contoh film Miramax antara lain adalah The Hours, Life Is Beautiful(La Vita e Bella), dan Chocolat. Hollywood juga adalah salah satu contoh industri Amerika Serikat yang memonopoli
pasar dunia, meski pun tidak di semua negara. Contoh terdekat yang dapat dilihat adalah Indonesia. Meski pun akhir-akhir ini di bioskop-bioskop perbandingan antara film dalam negeri dengan film luar negeri cukup berimbang (paling tidak film dalam negeri selalu ada) tetapi sebelum kebangkitan perfilman Indonesia yang kita alami sekarang ini, filmfilm Hollywoodlah yang menguasai bioskop-bioskop.
Hollywood saat ini disebut-sebut sedang mengalami masa transisi. Permulaannya bisa ditandai dengan keluarnya film American Beauty dan Magnolia pada tahun 1999. Dengan ide cerita dan penggarapan yang baik, American Beauty berhasil meraup keuntungan hingga lebih dari $130.000.000, dengan anggaran produksi $15.000.000, suatu jumlah yang dapat dibilang cukup sedikit untuk ukuran Hollywood. Kemunculan kedua film ini dianggap sebagai masa transisi, karena sejak itu Hollywood tampaknya mulai melirik gaya-gaya art house dalam pembuatan film, seperti movement kamera yang statis dan penonjolan latar/set, dalam artian set tidak hanya sebagai latar dari sebuah adegan, tetapi bagian penting dari adegan tersebut. Sebagai contoh adalah film The Pledge, yang disutradarai oleh Sean Penn dan dibintangi oleh Jack Nicholson. Pada film ini dapat dilihat ciri khas dari Sean Penn yang banyak mengandalkan pengambilan shot yang statis. Sedangkan untuk perbandingannya dapat kita lihat pada film One Hour Photo yang juga mempunyai kesamaan dengan The Pledge dalam pengambilan gambar.
One Hour Photo dapat digolongkan sebagai film yang cukup revolusioner. Mengapa? Film yang revolusioner dapat didefinisikan sebagai sebuah break through, dimana film tersebut menjadi pionir untuk sesuatu, misalkan idenya atau sinematografinya. Film ini disutradarai oleh Mark Romanek yang lebih dulu dikenal sebagai sutradara video klip. One Hour Photo muncul sebagai sebuah film yang dingin, rigid, dan kaku dengan pengambilan shot yang statis dan zoom out, tetapi film ini masih tetap dapat diterima (accesible) bagi orang awam melalui warna-warnanya yang cerah dan terang, dan terutama karena adanya Robin Williams yang berperan sebagai tokoh utama Sy Parrish. Contoh film- film lain yang dapat digolongkan revolusioner antara lain adalah Being John Malkovich yang disutradarai oleh Spike Jonze. Ide cerita yang unik membuat film in] menjadi sangat menonjol dan memperoleh nominasi Academy Award,
dan ada juga film seri Twin Peaks yang disutradarai oleh David Lynch. Banyak orang yang beranggapan bahwa film mil adalah inspirator dari terciptanya serial X Files.
Penggolongan mainstream dan sidestream sebenarnya bisa dilihat dari banyak sisi, maka dari itu tidak ada satu pun penilaian yang dapat dianggap sepenuhnya benar atau pun salah. Dengan melihat kenyataan bahwa sistem ekonomi yang paling dominan di dunia pada saat ini adalah kapitalisme modem, kita bisa melihat pembagian mainstream dan sidestream dari maksud atau tujuan di balik pembuatan film tersebut. Film mainstream dibuat dengan memikirkan pasar(siapa penontonnya), kemudian produser juga tentunya mempersiapkan sebuah cerita yang akan memuaskan penonton atau sesuai dengan selera pasar, dan pada akhirnya memperhitungkan keuntungan yang mungkin didapat. Sedangkan film sidestream dapat dibuat untuk memajukan sesuatu. Baik itu dapat mengundang kritik, membuat orang berpikir, atau banyak hat lainnya. Jika sebuah film menjadi pionir pada masanya, contohnya adalah jika sebuah film science fiction keluar ketika semua film yang beredar adalah komedi, film tersebut belum tentu dapat digolongkan sebagai sebuah film sidestream. Produser film tersebut mungkin saja sudah menentukan pasar dan timing yang tepat untuk film itu dan kemungkinan profit yang akan diperoleh. Dengan melihat melalui sudut pandang mil, film tersebut dapat digolongkan sebagai sebuah film mainstream.
Sebenarnya mainstream dan sidestream adalah sesuatu yang bersifat relatif. Penilaiannya bisa ditentukan dari berbagai macam sudut pandang dan tolak ukur. Apakah itu dari timeline, story telling, plot, dan banyak lagi hat lainnya. Tidak ada pedomanpedoman atau pakem yang pasti mengenai hat ini. Jika kita melihat sebuah timeline, semua hat yang menjadi trend pada tahun 60an pada masa sekarang akan dianggap sebagai sesuatu yang bersifat retro. Dan mungkin saja dalam waktu beberapa tahun lagi semuanya akan berputar kembali dan gaya hidup tahun 60an akan menjadi sesuatu yang umum dan diikuti oleh kebanyakan orang. Inilah yang membuktikan kerelatifan dari mainstream-sidestream. Cara memandang keberadaan mainstream atau pun sidestream pastinya berbeda-beda pada tiap orang, sesuai dengan point of view masing-masing.
Mainstream mungkin juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang bersifat dominan pada kurun waktu tertentu, diikuti atau disukai oleh kebanyakan masyarakat. Dan
mainstream tentu saja dapat kembali lagi menjadi sidestream sesuai dengan perputaran waktu. Pihak mainstream hanya menunggu sidestream untuk menciptakan suatu revolusi kemudian dengan mudahnya mereka membuat semua itu menjadi trend. Dan karena adanya sistem kapitalisme modern, maka mainstream akan kembali lagi kepada tujuan profit making, tetapi, sekali lagi, penjabaran masalah mainstream dan sidestream sebenamya tidak bisa dilakukan dengan semudah ini. Mainstream dan sidetream dapat dipandang melalui berbagai aspek yang berbeda. Masalahnya mungkin ada di diri tiap orang, apakah Anda sendiri bisa bersikap terbuka dalam memandang permasalahan ini?






thx to imdb.com, telepopmusik, and of course, nishkra
Mainstream dan Sidestream
di Hong Kong dan Cina
Disusun untuk memenuhi tugas akhir Kine Klub LFM
(Liga Film Mahasiswa)
Penyusun :
Muhammad Ismail Aji
13203111
Liga Film Mahasiswa ITB
Bandung
2004


Film merupakan salah satu bentuk penyaluran ide-ide manusia. Cita rasa seni dan pandangan terhadap suatu hat tertentu dituang ke dalam film. Melalui film, orang dapat memberikan semua ide-idenya yang tidak bisa la salurkan ke bentuk lain. Orang dapat sekadar mengetahui ataupun dapat terpengaruh oleh ideide tersebut.
Film juga dapat dipakai sebagai sarana politik clan propaganda, himbauan/ ajakan, pembelajaran, sosialisasi, aksi protes, memberikan doktrin-doktrin, clan masih banyak yang lainnya. Seiring den-an berbagai fungsi film tadi, maka tujuan orang membuat film pun bermacam-macam. Ada film yang dibuat untuk memenuhi kepuasan pribadi atau pun untuk diperlihatkan kepada publik.
Film sudah menjadi salah satu bagian dari budaya hidup manusia. Film dan kehidupan merupakan dua bagian yang yang saling mengisi. Bagian dari film merupakan cerminan dari kehidupan, begitu pula sebaliknya film telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Budaya suatu negara sangat berpengaruh besar ke film. Oleh karena itu ciri khas film di setiap negara berbeda.
Amerika misalnya, industri film di sana sudah sangat maju dan pembuat film sangat banyak sekali. Oleh karena itu di negara tersebut film harus bisa dibuat uang. Jadi film yang banyak dibuat di negara itu adalah film vang bersifat komersiL Negara-negara lain di Eropa misalnya, jenis filmnya banyak dipengaruhi oleh aliran lukisan yang dominan di negara itu. Di Per ncis, kultur filmnya adalah film yang berjenis Surealisme. Jerman menganut aliran Impresionisme dan new wave realisme. Sedangkan Italia menganut aliran neo-realisme. Sernua kultur itu berasal dari se jarah, politik, budaya, dan ekonimi suatu negara. Oleh karena itu hubungan film dengan budaya clan karakteristik suatu bangsa sangatlah erat.
Kultur film yang telah ada di suatu negara menjadikan adanya pakempakem tertentu yang menentukan standardisasi suatu film. Apabila orang hendak menibuat film di suatu negara _yang akan diperlihatkan dan dipasarkan kepada publik, maka film itu harus mengikuti pakem-pakerl yang bertaku. Hai itu din-mksudkan agar film van- dia buat dapat diterima masvarakat secara luas. Tentu apabila masyarakat dapat menerinzanya secara luas maka keuntungan yang dia peroleh akan semakin besar.
Film telah menjadi sebuah industri besar yang diany~gap membawa keuntungan. Banyak sekali jumlah film yang diproduksi per tahunnya. Industri ini sudah dibangun sejak lama sekali sehingga struktur industri di negara mi sudah kuat. Terbangunnya sebuah industri film tersebut telah membuat sebuah kemapanan. Kemapanan dalam arti 'standar' yang harus dipenuhi sebuah film agar film tersebut layak untuk dipublikasikan. Standar di sini bukan standar yang jelas clan tertulis tetapi lebih bersifat abstrak. 'Standar-standar' tersebut berbedabeda di berbagai negara, tentu kembali dipengaruhi oleh budaya negara tersebut.
Akan tetapi, tidak semua orang mau menerima kemapanan tersebut. Standar-standar yang ada dianggap membatasi kerativitas mereka. Akhirnya banyak orang yang membuat film dengan tidak mempedulikan 'standar-standar' yang ada. Mereka tidak mementingkarn pen jualan film mereka tetapi mereka hanya mengikuti apa yang dia mau, menuangkan ide-idenya secara bebas ke dalam film tersebut. Orang yang menonton juga menjadi bosan apabila dia terusterusan menonton film yang secara garis besar hanya sama clan berkisar di sekitar `standar'. Film-film yang berkisar hanya mengejar 'standar' untuk dapat dipublikasikan kepada masyarakat bisa juga disebut mainstream, sedangkan filmfilm yang tidak mengindahkan 'standar' tersebut clan tidak mengejar publikasi clan popularitas dapat disebut sebagai sidestream.
Mainstream clan sidestream di setiap negara pastilah berbeda-beda. Karakteristik tersebut dipengaruhi oleh budaya yang membentuk terbangunnya industri film. Esai ini akan membahas mei.genai karakteristik mainstream clan sidestream di negara Hong Kong dan Cina daratan. Industri film negara tersebut sudah sangat maju. Industri tersebut sudah terbangun sejak puluhan hampi ratusan tahun yang lalu. Film-fiim yang diproduksi di sana juoa memiliki ciri khas tertentu yang meir_bedakan dengan film produksi negara lain. Namuri yang akan dibahas adalah perbedaan mainstream dan sidestream di Hong Kong.
Mainstream berarti alur utama atau sesuatu yang umum. sesuatu yang cenderung digandrungi banyak orang, sesuatu yang cenderlIng banyak dibuat sesuatu yang telah biasa, populer, standar, serta selera dan kebiasaan umum
masyarakat. Mainstream dapat juga berarti sesuatu yang telah menjadi industri dan banyak dibuat orang.
Sidestream bersifat sebaliknya, sidestream adalah sesuatu yang tidak umum, eksperimental, tidak biasa, berbeda, aneh, sedikit yang menyukai can membuatnya, tidak populer clan tidak terlalu bersifat industri (hanya skala kecil). Sidestream dapat juga disebut sebagai anti-kemapanan atau beberapa orang menyebutnya underground.
Film-film sidestream terbentuk akibat tidak bebasnya seseorang dalam berekspresi dalam membuat suatu film. Dia terpaksa harus mengikuti aturan begini-begitu, demi untuk mengejar target pasar. Orang yang yakin akan idealisme filmnya biasanya akan berani mendobrak kemapanan, mendobrak pakem-pakem yang berlaku, berani menggagas ide-ide orisinal dan segar, clan bebas berekspresi sesuai kehendaknya. Dia tidak lagi mengejar target pasar dari filmnya itu.
Film sangat berkaitan erat dengan industri. Industri akan mempengaruhi ekonomi negara tersebut. Sistem ekonomi dunia kini cenderung bergerak ke arah perdagangan bebas, clan sistem ini sudah mulai masuk ke Hong Kong clan Cina terutama Hong Kong karena bekas jajahan Inggris. Sistern ini memungkinkan bagi negara mana pun untuk menjual baran-nya kepada seluruh dunia. termasuk film. Pemasaran film pun akan semakin luas ke seluruh dunia. Nannm dengan sistern seperti ini, berarti negara yang banyak memiliki modal berarti akan menguasai pasaran dunia (kapitalisme). Kenyataannya, Amerika yang memiliki industri fim yang bermodal besar-besaran, Amerika-lah yang kini yang menguasai pasaran film dunia.
Ini berarti sistem ekonomi negara ikut mempengaruhi terhadap pembuatan film. Film dipandang sebagai industri akibat dari pengaruh sistem kapitalisme. Akhirnya, tujuan penibuatan film hanya untuk dijual saja. yang akan n,engurangi nilai-nilai dari film itu sendiri.
Istilah film mainstream dan sidestream. merupakan dua istilah yang t1dak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Salah satunya tidak bisa berdiri secara mandiri. Kedua hal itu juga saling mempengaruhi satu sama lain. Film sidestrean~
terbentuk akibat adanya 'standar' yang membatasi film. 'Standar' tersebut telah didobrak oleh sidestream. Sidestream cenderung selalu mempengaruhi mainstream. Sidestream berfungsi sebagai penyeimbang mainstream. Mainstream pun akan selalu berubah karena manusia selalu berubah. Perubahan itu dipengaruhi oleh sidestream.
Dilihat dari unsur- unsur yang membangun sebuah film - seperti tema, alur cerita, karakter/tokoh, dll. - banyak terdapat perbedaan antara film mainstream dan sidestream. Perbedaan unsur-unsur itulah yang membuat film tersebut disebut mainstream atau sidestream. Tentu saja ciri khas ini dipengaruhi juga karakteristik negara Hong Kong dan Cina.
Dari segi alur atau plotting, buku Layar Kata mengkategorikan alur menjadi empat. Yang pertam.a alur tiga babak (3 act) yang bisa berkembang jadi sembilan babak (9 act). Babak pertama pengenalan masalah, kedua konflik atau puncak masalah, dan penyeiesaian. Yang kedua alur linier, yakni alur yang datar, bisa dibilang tidak ada pengenalan masalah, konflik, dan penyelesaian. Yang ketiga, alur mozaik, yakni alur yang dibangun dengan beberapa potongan kejadian atau gambar yang berbeda namun membentuk suatu kesatuan. Yang terakhir, alur eliptik, adalah alur yang tidak lengkap, atau alur yang tidak sempurna, bisa tanpa ada penyelesaian, atau tanpa ada pengenalan masalah, d1L Sedangkan berdasarkan pergerakannya, alur ada tiga jenis : alur maju, alur flashback, dan mundur.
Alur yang umumnya dipakai adalah alur tiga babak. Film mainstream menggunakan alur ini. Yakni meniakai pengenalan masalah, konflik, dan penyelesaian. Jenis alur yang lain jarang dipergunakan, karena alur tersebut akan membosankan bagi penontonnya, ataupun menjadi sulit dimengerti banyak orang. Alur mundur juga sangat jarang digunakan. Film sidestream ada yang mengy~unakan ini. Alur yang banyak dipergunakan adalah alur maju adarn flashback.
Bila kita menonton film Wong Kar Wai yang beijudul Davs Of I3eing Wild (1990), kita akan merasakan alur yang lambat. Tidak ada kejelasan mana bagian pengenalan masalah, puncak masalah dan penyelesaian masalah. Penyelesaiannya dibuat mengambang. Film ini dapat dikategorikan menggunakan alur linier atau
datar. Alur ini hanya mengisahkan kisah hidup satu tokoh dalam kurun waktu tertentu tanpa ada latar belakang yang kuat mengenainya. Di akhir cerita juga ada satu adegan Tony Leung Chiu Wai yang sedang bersolek tanpa ada hubungan apapun dengan inti cerita. Tidak ada latar belakang yang jelas mengenai adegan ini. Film ini dapat dikategorikan sebagai film sidestream.
Alur yang agak membingungkan juga bisa kita lihat di film Hero karya lhang Yimou. Film ini menggabung-gabungkan beberapa cerita dengan konsep flashback dan dapat digolongkan alur mozaik. Film tersebut menceritakan beberapa kisah yang berbeda, kadang bertentangan tetapi membentuk satu kesatuan yang utuh.
Kita bandingkan dengan film mainstream karya John Woo seperti Hard Boiled yang mencapai sukses di pasaran. Alur yang dibangun begitu dinamis, ritmis, dan sistematis sehingga penonton enak mengikutinya, tidak akan bosan seperti kita menonoton Days Of Being Wild. Di film itu juga semua dijelaskan dengan hukum sebab-akibat. Kita dapat mengerti mengapa tokoh yang diperankan Tony Leung dari jahat menjadi baik, juga tokoh-tokoh lainnya.
Bila kita melihat film-film action maupun drama Hong Kong, pastilah kiata banyak mengambi) kesamaan di dalamnya. Semua itu banyak bercerita mengenai gangster, kekerasan, d1L Selain itu akhir cerita kebanyakan sad ending. Contohlah Infernal Affairs yang menceritakan polisi yang menyamar menjadi gangster, melawan seorang gangster yang menyamar menjadi polisi. Mirip dengan cerita film Hard Boiled yang menceri+.akan mata-mata polisi di gangster. Akhir kedua cerita juga sama, salah satu tokoh utamanya mati-kebetulan di kedua film itu yang mati adalah Tony Leung (mungkin karena wajahnya yang simpatik)
Ide cerita adalah hat utama yang menjiwai suatu film. Ide cerita dapat membedakan suatu film dengan film lainnya. Film yang menyampaikan ide cerita yang berbeda, orisinal akan lebih dihargai oleh masyarakat. Seperti telah dijelaskan. ide cerita film mainstream Hong Kong biasanya ,tandar saja, seputar polisi. 'aangster, jahat lmvan balk, d1L Bandingkan dengan film sidestream Raise The Red Lantern karya Zhang Yimou. Film itu menceritakan seorang perempuan
yang putus asa tidak bisa melanjutkan kuliah akhirnya menjadi seorang istri simpanan ke-4 dari seorang bangsawanm yang kaya raya. Ide seperti ini tentunya sedikit sekali orang yang memikirkan. Film ini sungguh sangat berbeda dari film yang lain.
Penokohan juga mengambil posisis yang sangat penting dalam film. Karakter yang ditampilkan film-film mainstream biasanya orang yang karakternya biasa. Apakah itu baik, atau jahat, bisa kita rasakan dalarn kehidupan sehari-hari. Contohlah film yang menceritakan tokoh legendaris Wong Fei Hung, Once Upon a Time In China yang dibuat banyak sekuelnya. Di semua filmnya, karakter Wong Fei Hung begitu-begitu saja, tidak mengalami perubahan. Dia jago silat, guru yang bijak, baik, dan penyayang.
Sedangkan tokoh dalam film sidestream biasanya orang-orang yang jarang kita temui sehari-hari. Dia tidak baik atau jahat, sering mengalami konflik kepribadian atau pencarian jati diri. Karakternya bisa saja berubha drastis di tengah film, atau bahkan dari sejak awal dia tidak punya karakter dengan kata lain krisis kepribadian. Bisa kita lihat di film The Emperor and The Assassin karya Chen Kaige, tokoh raja Qin di film tersebut dapat kita rasakan drastis perubahannya. Dahulu dia bersifat arif dan berhati-hati dalam bertindak walaupun agak kejam karena bermaksud menyerang kerajaan lainnya di Cina tetapi memiliki misi mulia yaitu menyatukan Cina. Namun semenjak dia tahu bahwa ayahnya berasal dari kerajaan Zhao dan dibunuh di depan matanya sendiri, dia seperti kehilangan hatinya. Dia mengkhianati janjinya kepada kekasihnya (diperankan oleh Gong Li) dan dengan sadis membantai rakyat Cina di kerajaan lain, termasuk Zhao.
Masih banyak lagi ciri khas yang membedakan !film mainstream dan sidestream. Masing-masing jenis film memiliki ciri khas masing-masing yang membedakan satu dengan lainnya. Berikut ringkasan perbedaannya :
o Film-film mainstream mengandung ciri-ciri antara lain :
Market oriented (mengacu kepada pasar)
Ide cerita umum
Film dibuat sebagai industri
• Bertujuan menghibur penonton
Membutuhkan modal yang besar
Bintang film yang dipakai menjadi hal penting
Promosi besar-besaran
Tema yang umum/universal
Cerita clan alur mudah diikuti penonton
Karakter yang ada di film tersebut biasa
Sasaran penonton jelas
o Film sidestream memiliki ciri-ciri :
Bertujuan menyalurkan idealisme, kreativitas (idealism orinted) secara bebas
Tidak terpatok aturan-aturan umum
Modal tidak tentu, bisa disesuaikan
Penontonnya tertentu, tidak banyak orang van- suka
Promosi terbatas
Ide cerita beda atau aneh
Mengandung gagasan tentang pandangan hidup, protes atau politik
• Karakternya tidak biasa, mengalami pencarian jati diri
Satu hal lagi yang tidak bisa dilepaskan dari film adalah apresiasi
masyarakat atau para kritikus film. Apresiasi adlah hal yang sangat penting.
,,. - , , ~ .,,. - ~=_... i~ctlGil~i tanpa adanya aIJ1C~ia51, balk 11U UubUs ataupiiii jci~cn, Sc,U--Udti~ti i1,iiu iiua~
dapat dikatakan sebagai seni. Karena seni selalu memiliki nilai-nilai. apakah itu bagus atau jelek.
Apresiasi dunia terhadap film amatlah ban_y-ak. t.ihatlah ajang perlombaar~ film paling tinggi, Academy .4-wards atau Piala Oscar. Golden Globe Awards, ataupun penghargaan lokal seperti Hong Kong MoN ;e Awards, Festival Finn Indonesia, d1L Ada juga perlombaan dalam bentuk festival seperti Festival Film Cannes di Perancis, Berlin Film Festival. dll.
Film yang kualitasnya balk- belum tentu akan mendapat sukses di pasaran . begitu pula sebaliknya, film yang sukses di pasaran belum tentu balk. Film-film
mainstream yang hanya mengejar 'standar' pemasaran memang sukses di pasaran tetapi bila kita lihat di situs imdb.com, rating film-film tersebut biasanya kuarang ba;,us. .>-1ongkong Movie Awards,misalnya, menilai sebuah film yang balk juga dengan melihat respon pasar. Jadi film-film sidestream yang memang jarang yang menonton, walaupun berkualitas sebagus apapun akan kalah oleh film yang biasabiasa saja namun meledak di pasaran. Namun festival-festival film di berbagai negara tidak melihat angka penjualan sama sekali, mereka hanya melihat kualitas film. Banyak film sidestream Hong Kong dan Cina yang menang di berbagai festival seperti Raise The Red Lantern, Hew, Crouching Tiger Hidden Dragoon mendapat penghargaan di berbagai film festival.

Referensi :
Film : -Website : www.imdb.com
Bullet In The Head
Crouching Tiger Hidden Dragon
Days Of Being Wild
Going Home (Three)
Goodbye Mr. Cool
Hard Boiled
Hero
Tnfr M. a! Affairs
Once Upon a Time In China
Raise The Red Lantern
The Emperor and The Assassin
The Road Home
Time and Tide
Nib: Film-film yang disebutkan di atas memang tidak dibahas semua tetapi
inenjadi referensi penulis dalarn menulis esai ini.
Horor dan Remaja Lagi?
Essy Prita Cinta

Melihat antrian penonton bioskop saat ini memang sangat menggiurkan para produser perfilman tampaknya. Bagaimana tidak? Film-film laris seperti "Petualangan Sherina", "Ada Apa dengan cinta", dan "Jelangkung" diantre penonton bermingguminggu. Tidak kurang dari dua juta orang telah menonton film-film itu. Film laris lainnya, Tusuk Jelangkung, berhasil mengumpulkan satu juta seratus ribu orang penonton! Jumlah yang cukup untuk mengalahkan film-film box office Hollywood, seperti "Harry Potter" dan "Lord of The Ring".
Dimulai dari dominasi infotainment dan sinetron di televisi yang mulai membosankan, respon penonton film yang menggembirakan ditambah gaya gaul anak muda masa kini dimana nonton bioskop ada didalamnya, mendorong kekritisan masyarakat perfilman untuk melahirkan kembali film-film lokal di saat keadaannya bisa dibilang mati suri.
Sineas-sineas muda berbakat yang ingin menunjukkan filmnya pun mulai bermunculan. Film-film indie mulai bertaburan di masyarakat. Membaca gelagat ini, lahirlah festival-festival film amatir yang bermaksud menampilkan ide-ide segar film maker amatir kepada masyarakat dan juga membangkitkan perfilman Indonesia. Hal ini tampaknya cukup berhasil merangsang para produser senior dan junior bersaing untuk memproduksi film baru yang dapat diterima masyarakat.
Sampai akhir tahun 1999, para produser mulai mencari-cari bentuk film yang sekiranya laris di lapangan. Karenanya, dalam rentang waktu itu, muncul berbagai genre film dari berbagai sutradara. Film-film yang bisa dikatakan sebagai hasil eksperunen itu muncul dengan kualitas dan ide yang berbeda satu sama lain. Berbeda, sampai tidak ada jenis film tertentu yang bisa dikatakan mainstream.
Sewaktu Nan Triveni Achnas dengan "Kuldesak" (1998) menyeruak sebagai nominator Best Asian Feature Film di Singapore International Film Festival (1999), perfilman Indonesia seakan dibangunkan dari tidur panjangnya. Setelah bertahuntahun tidak ada film lokal yang dipasang di studio 21, film ini bisa dianggap film pertama di era baru perfilman Indonesia
"Kuldesak" dengan tema metropolisnya yang bersaing di ajang internasional saat itu, sebenarnya belum bisa dikatakan menarik banyak penonton. Kebanyakan baru mengetahui "Kuldesak" setelah ia menjadi nominasi, bukan ketika pertama kali ditayangkan. Berbeda dengan film produksi Miles, "Petualangan Sherina" (2000)

yang menawarkan cerita yang ringan namun segar dan digarap dengan serius. Memanfaatkan talenta artis cilik Sherina, didukung oleh aktor-aktor kawakan, ditambah promosi yang cukup gencar, film ini bisa dikatakan sukses menarik penonton yang memang merupakan sasaran pembuatannya sejak awal, yaitu anakanak dan orangtuanya.
Dengan sasaran dan konsep yang nYaris sama, memanfaatkan artis cilik Joshua, Joshua Oh Joshua (2001) muncul yang ternyata tidak sesukses pendahulunya. Segarnya ide dan framing "Petualangan Sherina" yang menawarkan cerita kehidupan anak-anak jaman sekarang memang harus diakui berbeda jauh dengan "Joshua Oh Joshua" yang menampilkan cerita seperti film anak-anak jaman dulu, dengan setting kumuh, hidup miskin bersama ibu tiri dan kesedihan yang terus menerus dieksplorasi. Pada akhirnya, kesegaran ide menjadi salah satu unsur yang paling penting disini.
Berangkat dari rumah produksi yang sama dengan "Petualangan Sherina", muncullah film yang dianggap sebagai trendsetter berbagai tayangan saat ini, Ada Apa dengan Cinta (2001), yang membangkitkan harapan penonton Indonesia akan kebangkitan film Indonesia. Walaupun masih lemah untuk bertanding di liga internasional, jika dilihat dari waktu kemunculannya saat itu, film remaja bergenre komedi romantis ini memang sangat Indonesia, cukup berkualitas dan memiliki unsur yang penting untuk dimiliki film baru, segar!
Dianggap sebagai reinkarnasi "Gita Cinta dari SMA" (1978), tidak membuat film ini lantas menjadi mainstream saat itu. Dengan adanya garis waktu, film ini masih berkedudukan sebagai sidestream sampai akhirnya film-film remaja lainnya muncul. Sebut saja "Rumah Ketujuh" (2002), "Cinta 24 Karat" (2003), "Eiffel, I'm in Love", "Biarkan Bintang Menari" dan yang baru "30 Hari Mencari Cinta" (2004). Terasa ada penurunan idealisme, dimana film seperti "Rumah Ketujuh" dan "30 Hari Mencari Cinta" mengemas cinta remaja menjadi sesuatu yang enteng dan hanya itu. Berbeda dengan kisah Rangga dan Cinta yang masih bersinggungan dengan persahabatan, penjual buku bekas dan sastra yang selama ini dianggap kurang diminati remaja.
"Jelangkung" yang produksinya tidak memakan waktu dan low budget ini, temyata meledak di pasaran. Padahal, film yang bertema horor ini pada waktu pemutaran perdananya banyak ditinggalkan produser senior yang diundang, cukup wajar tampaknya, karena memang pada filmnya sendiri terlihat kesan buru-buru ingin diselesaikan. Akting para pemainnya pun kurang bagus untuk ukuran film bioskop,

dan juga kurang natural. Walaupun begitu, film dengan ide hantu lokal ini memang cocok untuk menakut-nakuti orang Indonesia. Toh, bagaimanapun juga, suster ngesot dan hantu jelangkung lebih menakutkan bagi kita dibanding hantu-hantu impor, seperti drakula atau zombie kan?
Minimal, sekarang kita bisa bilang kalau Jepang punya "Ringu", Hongkong punya "The Eye", Indonesia juga punya "Jelangkung"!
"Tusuk Jelangkung" (2003) yang menggaet banyak sponsor dalam pembuatannya berhasil lebih baik dari film pertamanya. Digantinya sutradara dan hampir semua pemainnya memberikan nuansa pop horor baru yang cukup berkualitas. Tapi, ikut suksesnya film ini membuat ketidakbiasaan tema yang ditampilkan "Jelangkung" menjadi sesuatu yang biasa. Karena setelah itu, muncul berbagai film horor lain yang tak sama tapi jelas serupa. Misalnya film-film produksi Kharisma Starvision Plus, yaitu "Kafir"(2002), "Peti Mati"(2002), dan "The Soul"(2003). Dilihat dari sisi manapun film-film itu memang film horor lokal kan?
Intinya, seperti halnya "Ada Apa dengan Cinta", karena adanya perjalanan waktu, "Jelangkung" saat ini sudah berubah kedudukannya menjadi film mainstream.
Keseragaman film-film mainstream tersebut ditambah lagi dengan kesamaan produksi untuk memenuhi selera pasar, sasaran penonton yang sama-sama untuk remaja. Berdasarkan jajak pendapat Forum Film Bandung (FFB), penonton usia 13-20 tahun memang menjadi isi bioskop Indonesia saat ini. Berbeda pada waktu dulu, yang mayoritas berusia 20-35 tahun (68%).
Mementingkan selera pasar jelas tidak dilakukan oleh film karya Nan Triveni Achnas lainnya, Pasir Berbisik (2001) yang berdasarkan polling pengunjung situs imdb.com mendapatkan nilai 8,3 dari rentang 10. Ide yang segar, alur yang berjalan lambat namun pasti, akting pemain yang memukau, fotografi yang eksotis dan setting yang pas, membuat film ini banyak meraih penghargaan dari luar. Film ini memboyong penghargaan Best Cinematography, Best Sound dan Special Mention: Most Promising Director pada Asia Pacific Film Festival (2001); Netpac AwardSpecial Mention di Brisbane International Film Festival (2002); mendapatkan FIPRESCI Prize pada Oslo Films from the South Festival (2002); Asian Trade Winds dan Special Jury Prize di Seattle International Film Festival (2002); dinominasikan untuk Tiger Award di Rotterdam International Film Festival (2002); nominasi Silver Screen Award: Best Asian Feature Film dan memenangkan kategori Best Actress

pada Singapore International Film Festival (2002). Daftar penghargaan yang cukup panjang untuk 'sebuah' film Indonesia.
Film-film lain yang bisa dikatakan mendobrak dominasi film yang mementingkan selera pasar adalah Eliana, Eliana (2002). Dikemas dengan sangat berbeda dari "Pasir Berbisik" yang memanjakan mata penontonnya dengan berbagai pemandangan indah, Riri Riza menampilkan berbagai sudut kota metropolitan yang tidak akan dilewati rombongan peserta Konferensi Asia Afrika. Ruwet, padat, kumuh, dan gelap namun real dan tetap berkualitas, membuat film ini berjalan cukup lancar dari festival ke festival. Memenangkan FIPRESCI Prize dan Young Cinema Award di Singapore International Film Festival (2002) dan dinominasikan untuk Silver Screen Award: Best Asian Feature Film; meraih Dragons dan Tiger Award di Vancouver International Film Festival (2002), adalah hal lainnya yang membuat film ini mirip dengan "Pasir Berbisik", selain temanya yang mengetengahkan cerita antara ibu (kedua ibu diperankan oleh Christine Hakim) dan anak perempuannya. Tapi, sedikit persamaan tadi tidak lantas menggoyahkan kedua film ini sebagai jenis sidestream Iho! Yang sama cuma sedikit kok, itu pun sudut pandangnya beda, dan unsur-unsur sisanya juga jauh berbeda.
Garin Nugroho, si spesialis film dokumenter, juga tidak mau ketinggalan dengan film idealisnya untuk menambah daftar film sidestream Indonesia saat ini, "Aku Ingin Menciummu Sekali Saja" (2002). Tangan Garin membuat film yang punya daftar panjang untuk genrenya (komedi/ kejahatanl drama/ roman/ perang/ dokumenter/ musical) ini, memenangkan Netpac Award: Special Mention pada Berlin International Film Festival (2003) baru-baru ini. Sasaran film ini jelas bukan buat remaja, temanya juga bukan tema biasa. Kekayaan cerita yang ditampilkan film ini bisa dilihat dari panjang genrenya. Selain itu, film ini juga tidak takut penonton Indonesia tidak suka dengan memasukan latar belakang budaya Papua yang kental. Dimana lagi Irian jaya dijadikan lokasi syuting film?
Selain itu, masih ada lanjutan perlawanan Aria Kusumadewa terhadap daya ucap dan pemasaran setelah "Beth", "Novel Tanpa Huruf R" (2003), yang secara gerilya ditayangkan dari kampus ke kampus. Film yang cukup sadis ini jelas jelas beda dari film Indonesia lainnya. Baik itu tema, ide, pengemasan dan tentu saja promosinya, semua benda dan kata yang digunakan dalam film tersebut punya arti sendiri-sendiri menjadikan film ini cukup berat untuk dicerna, tidak ringan seperti film Indonesia lainnya.

r
"Arisan!" (2003) jika dilihat dari unsur waktu, tema dan idenya juga bisa dikategorikan sebagai film sidestream. Sampai saat ini, jarang sekali ada film yang
mengangkat fenomena-fenomena keseharian sebagai temanya. Promosinya pun hanya sekadar poster di bioskop dan dari mulut ke mulut para penonton yang puas menontonnya. Tidak ada tuh Man terus menerus melalui televisi. Tapi, film 'beda' ini mampu membuktikan kualitasnya dengan masih bertahan di bioskop-bioskop besar kota Bandung.
Dilihat dari hal-hal diatas, saat ini Indonesia memang sudah punya film yang bisa dikategorikan sebagai mainstream ataupun juga sebagai sidestream. Tema horor dan remaja adalah tema film yang bisa disebut sebagai tema film mainstream Indonesia. Tema-tema ini mendominasi perfilman Indonesia dan juga sangat mempengaruhi acara-acara televisi saat ini. Selain TVRI dan Global TV, semua stasiun TV setiap harinya berlomba-lomba menawarkan berbagai konsep tayangan mistik dan berbagai sinetron bertema remaja. Keseragaman ini tidak berlebihan agaknya jika dikatakan mengekor sukses film "Ada Apa dengan Cinta" dan "Jelangkung".
Tahun ini jumlah produksi film meningkat 100% dari tahun lalu. Tidak kurang dari 24 judul film dari berbagai rumah produksi siap diproduksi tahun ini. Yah, kita berdoa sajalah semoga tema film tahun ini lebih kaya dan tidak melulu horor dan remaja. Hidup film Indonesia!
"Dogville"
Oleh Andi Taufan

Sebuah cerita yang bertempat di Amerika tepatnya di rocky Mountain pada tahun 1930. Pada filmnya yang kali ini Lars Von Trier mencoba mengungkapkan arti sebuah kebaikan. Dan film ini sangat berbeda dengan Three Heart Trilogy nya (Breaking The Waves, The Idiots, and Dancer In The Dark)
Dogville merupakan sebuah karya yang eksklusif la dapat membuat kita berimajinasi yang luas karena film ini hanya bersetting kan sebuah studio atau teater yang kecil, tetapi dapat membuat sebuah film yang elegan dimana kita sebagai penonton tetap merasakan kehadiran bangunan-bangunan dan lingkungan dalam film tersebut. Dalam Dogville ini Lors Von Trier menciptakan sebuah suasana dengan atmosfer drama yang sangat kuat, dimana musik, suara dan pencahayaan coba untuk diminimalis sedangkan kekuatan peran para aktornya diperkuat dan dibuat begitu hidup dan menarik
Film ini menceritakan seorang gadis cantik yang menjadi buronan polisi, Grace (Nicole Kidman) datang ke sebuah desa kecil yang bernama Dogville, ia mencoba melarikan diri dari gerombolan gangsternya. Kemudian hadir Tom (Paul Betanny) yang mencoba membantunya, seorang yang biasa menjadi juru bicara di desa tersebut. Para penduduk desa pun setuju untuk menyembunyikannya dari polisi, dan Grace pun setuju untuk bekerja dengan mereka sebagai imbalannya. Tetapi bagaimanapun juga para penduduk meminta persetujuan yang lebih untuk keselamatan seorang gadis yang tersasar tersebut. Grace pun mencoba beradaptasi dengan lingkungan desa yang keras tersebut. Sedangkan Grace mempunyai sebuah rahasia dan itu sangat berbahaya, terutama bagi penduduk di Dogville yang akan menyesal jika mengetahuinya.
Satu hal yang menarik dalam film drama teater ini adalah Trier membuat sebuah adegan pemerkosaan atau hubungan sex dalam film ini merupakan suatu hal yang biasa saja dan tidak perlu dihebohkan bahkan ia membuatnya hingga berulang-ulang.
Drama mengagumkan berdurasi 2,5 jam, yang diperankan oleh Nicole Kidman, Paul Bettany, Stellan Skarsgaard, Ben Gazzara, Lauren Bacall dan James Caan. Ini merupakan sebuah film yang luar biasa untuk ditonton meskipun kamu tidak suka nonton film. Sebuah film yang harus ditonton bagi penggemar Nicole Kidman dan Lors Von Trier, bahkan juga untuk penggemar film-film layar lebar. Drama ini sangat mengagumkan dan dapat dikatakan sebagai sebuah ide yang inovatif dengan memindahkan sebuah drama teateritikal ke dalam layer lebar.
"Dogville"

Yang sangat menonjol dalam film ini adalah setting teater dengan wujud bangunan yang digambarkan tidak nyata. Lars Von Tiers memberikan kebebasan kepada penonton untuk berimajinasi tanpa batas.
Film yang mengambil setting tahun 1930an ini menggambarkan bagaimana sifat egois menguasai semua manusia. Dengan dalih melindungi Grace Margaret Mulligan (Nicole Kidman) yang sedang sembunyi dari suatu pengejaran, semua penduduk yang tinggal di Dogville (kota kecil di Colorado dimana dia terdampar) mengeksploitasi Grace tanpa merasa bersalah. Saat Grace baru tiba di Dogville, dia harus berusaha keras untuk mengambil hati para penduduk agar diizinkan tinggal di situ dengan bantuan Tom (Paul Bettany) yang menemukan Grace juga merupakan orang di Dogville yang sedang memikirkan merubahan terhadap kotanya yang menurut dia Dogville terlalu tertutup terhadap lingkungan diluar Dogville. Terlihat bahwa mereka tidak percaya dan memiliki kecurigaan pada orang baru yang datang ke kotanya. Pada awalnya pengeksploitasian ini belum terlihat, bahkan sikap para penduduk terlihat adil sampai petugas kepolisian datang untuk menempelkan pengumuman tentang berita kehilangan orang yang lalu berkembang menjadi berita pencarian.
Saat Grace sudah merasa tidak tahan dengan segala perlakuan penduduk kepada dirinya, dia berusaha kabur dengan meminta bantuan Ben yang dia kira dapat dipercaya. Ternyata dugaannya salah. Usaha kabur gagal, penduduk pun menjadi marah sehingga dia semakin "siksa". Di akhirnya tersimpan kejutan yang tidak disangka-sangka. Pemikiran Tom terbukti bahwa penduduk Dogville tertutup terhadap lingkungan diluar kotanya. Setiap penduduk yang terlihat lugu dan masih kecil sekalipun didalam hatinya penuh dengan kenistaan yang menyatu dengan jiwanya.
Film berdurasi panjang (kurang lebih 3jam) ini butuh konsentrasi yang besar karena selain settingnya yang terkesan flat, di sini back sound dan soundtrack yang biasa digunakan dalam film-film pada umumnya tidak ada. Mungkin akan merasa bosan menontonnya tapi hebatnya, tanpa soundtrackpun dapat mempengaruhi emosi yang menontonnya. [ariantia]
Castle in The Sky - Hayao Miyazaki

Katanya manusia akan semakin dewasa seiring bertambalurya umur, yang berarti akan lebih bertanggung jawab, lebih bijaksana, dapat membedakan mana yang baik, mana yang buruk, dan mengerti apa yang harusnya diutamakan untuk dikerjakan dan apa yang seharusnya tidak dikerjakan. Namun, tanpa kita sadari yang sering terjadi adalah kebalikannya. Tidak sedikit orang yang semakin bertambah umurnya bukan semakin bijaksana tetapi malah semakin serakah, hanya memikirkan kepentingan sendiri. Tidakkah kita sadari sebenarnya semakin kita bertambah besar, semakin kita mengenal keadaan dunia yang sebenarnya, kita mengatur strategi yang kuat untuk menghadapi dunia di hari-hari berikutnya? Dengan begitu tanpa kita sadari, setidaknya sedikit sifat serakah, mementingkan diri sendiri dan sifat tidak baik lainnya yang diajarkan di TK dulu untuk dihindari akan tertanam di hati kita. Tetapi kita juga manusia, tidak ada yang sempurna. Jika kadarnya hanya sedikit saja, mungkin tidak akan mempengaruhi masalah yang besar. Namun bagaimarqjika kita tidak dapat mengendalikan diri? Bagaimana jika kita terus mengikuti keserakahan kita? Jika semua manusia di dunia seperti itu, kita hidup tidak akan tenang. Dan saya rasa sudah cukup banyak manusia yang seperti itu hidup di dunia, mungkin kita termasuk di dalamnya. Hayao Miyazaki tampaknya peka tentang hal ini, dan dia berusaha mengingatkan kita dalam kar~!a-karyanya.
Dalam filmnya~ yang diproduksi pada tahun 1980an, yaitu Castle in The Sky, Hayao Miyazaki menceritakan tentang kemuliaan hati dua orang anak, Sheeta dan Pazu, yang mencari pulau yang melayang di udara bernama Laputa. Petualangan ini dimulai saat Pazu menemukan Sheeta yang pingsan turun dari langin perlahan-lahan dengan menggunakan kalung yang bersinar terang. Sheeta sedang dalam pengejaran agen rahasia dan sekelompok pembajak yang menginginkan kalung yang dipakai oleh Sheeta dan saling berebutan untuk mendapatkannya. Saat Sheeta clan Pazu sedang melarikan diri dari kejaran dua kelompok yang memiliki niat buruk kepada Sheeta, mereka bertemu dengan seorang kakek yang tinggal di dalam gua yang ternyata terdiri dari batuan kristalyang dapat bersinar. Saat kakek itu memperlihatkan sinaran batuan di dalam gua, kalung yang dipakai oleh Sheeta pun ikut bersinar dan sinarnya sangat terang. Sinar yang dihasilkannya paling terang diantara batu-batu bersinar yang ada di dalam gua tersebut. Kakek yang mengaku dapat mendengar suara batu-batu yang bersinar di dalam gua itu mengetahui hal tentang kalung yang digunakan oleh Sheeta. Kalung yang digunakan oleh Sheeta merupakan batuan kristal berjenis sama dengan batuan di gua tersebut yang paling kuat. Kakek tersebut mengatakan bahwa batu tersebut berasal dari Laputa, pulau yang melayang di udara.

Tiba-tiba kakek meminta Sheeta untuk memasukkan kembali kalungnya ke dalam bajunya karena kakek itu merasa cerita dari batu yang dipakai Sheeta sangat menyedihkan dan dia tidak kuat untuk mendengarkan suara dari batu tersebut. Mendengar kakek tersebut, Sheeta yang ternyata memiliki nama lengkap yang diberikan oleh neneknya yaitu Lusheeta Toel Ul Laputa clan Pazu yang juga pernah mendengar tentang legenda tersebut dari ayahnya yang sudah meninggal merasa yakin akan keberadaan pulau yang mengapung di udara itu semakin ingin membuktikan kebenaran bahwa adanya Laputa.
Perjalanan pun dimulai sambil terus waspada terhadap kejaran para penjahat. Namun mereka berdua tidak dapat melarikan diri lagi saat tentara dari agen rahasia telah mengepung mereka dan dibawalah iiiereka ke markas tentara agen rahasia. Di sana Sheeta ditunjukkan sesosok robot yang besar dan tampak sudah tidak bisa bergerak lagi karena tampak sudah rusak. Tangan dan kakinya sudah terputus. Muska, yang merupakan otak dari pengejaran Sheeta menjelaskan bahwa dahulu dia mempercayai Laputa hanya sebagai legenda sampai robot ini terjatuh dari langit di sebuah pertanian. Setelah itu Muska berusaha keras untuk menemukan jalan menuju negeri tersebut dan akhimya mengetahui bahwa kuncinya terletak pada kalung yang digunakan oleh Sheeta. Karena itulah Sheeta terus dikejar-kejar. Sheeta menangis. Dia mulai merasa muak. Dia merasa tidak mengerti apa-apa mengenai Laputa dan dia memohon untuk melepaskan dirinya juga Pazu jika dia menyerahkan kalungnya. Namun Muska tidak menyetujui karena ternyata kalung tersebut tidak dapat bekerja tanpa pemiliknya. Dengan kata lain, kalung itu saja tidak cukup untuk menunjukkan dimana letak Laputa.
Pazu yang dipaksa pulang ke daerah asalnya akhirnya bergabung dengan pembajak yang tidak berhasil menangkap Sheeta. Pazu memohon kepada pembajak yang ternyata hanya mengharapkan harta karun yang ada di dalam Laputa untuk ikut bersama mereka agar dia dapat menolong Sheeta dari Muska yang memiliki niat jahat. Sheeta yang merasa putus asa sejak dia menyuruh Pazu pulang clan dia merasa sendiri, dia teringat akan neneknya yang memberikan kalung yang dia pakai. Dia teringat akan mantera yang diberikan untuk memperingan masalah yang sedang dihadapi. Sheeta pun mengucapkan mantera tersebut dan tiba-tiba kalung yang dia pakai menyala sangat terang. Mantera itu juga menghidupkan kembali robot yang tersimpan di bawah markas dan mantera itu ternyata adalah petunjuk untuk mencapai Laputa.
Setelah menyalanya kalung milik Sheeta yang membuat robot yang mengamuk karena Sheeta telah disakiti, markas tentara agen rahasia hancur dan kalung kristal secara tidak sengaj a jatuh ke tangan Muska. Sheeta berhasil diselamatican oleh Pazu dan mereka pun bersamasama pembajak yang ternyata baik hatinya melakukan perjalanan menuju Laputa seiring dengan

Muska dan pasukan tentaranya. Dalam perjalan yang cukup panjang akhirnya mereka sampai di Laputa. Ternyata Laputa adalah pulau yang sangat indah clan damai. Namun Muska tidak perduli dengan keindahan dan kedamaian tersebut. Dia menjadi lepas kendali saat dia merasa memiliki pulau tersebut dan mulai melukai tentara-tentara yang padahal ada di pihaknya. Karena Sheeta tidak tahan dengan kej ahatan dan sikap Muska yang seperti sedang kerasukan setan, dengan saran dari Pazu dan demi kedamaian yang mereka harapkan Sheeta mengucapkan mantera penghancur yang juga pernah diajarkan oleh neneknya. Sebenarnya neneknya berpesan untuk tidak pemah menggunakan mantera tersebut. Namun Sheeta berpikir akan lebih baik bila pulau ini hancur dibandingkan dengan ada di bawah tangan Muska yang jahat.
DA1QIn ilim-11iimnya, nayao Miyazaki menyampaikan pesan-pesan yang kebanyakan berkaitan dengan sifat orang dewasa melalui karakter anak-anak. Selain dalam Castle in The Sky, hal ini juga terlihat dalam film lainnya yaitu salah satunya Spirited Away. Di dalam film tersebut tergambarkan bagaimana sifat seorang anak kecil lebih mulia dari pada sifat kedua orang tuanya. Memang benar orang tua mengajarkan hal yang baik kepada anaknya, namun hal tersebut tidak dapat menjamin bahwa sifat orang tua dalam menghadapi lingkungan luar atau masyarakat luar sama baiknya dengan yang mereka ajarkan kepada anaknya. Sang anak yang belum bisa menentukan dengan tegas mana yang baik dan mana yang buruk tidak dapat melihat bagaimana sebenarnya sifat orang tuanya itu dan berjuang keras untuk menyelamatkan kedua orang tuanya yang berubah menjadi babi karena memakan makanan pada sebuah kedai di suatu desa yang mereka temukan saat sedang jalan-jalan di dekat rumah baru mereka tanpa izin.
Sedangkan dalam My Neighbor Totoro lebih menonjol sisi imaginasi seorang anak kecil. Di sana kita diingatkan untuk menghargai setiap perkataan anak kecil dan tidak menganggap remeh pendapat dan perkataan seorang anak kecil. Dengan begitu kita dapat menghargai anak yang walaupun umurnya tidak sampai setengah dari umur kita. Pada dasarnya hati anak-anak merupakan hati yang paling mulia karena mereka masih sangat polos clan belurn mengenal kejamnya keadaan dunia yang sebenarnya. Kita tidak boleh malu untuk belajar dari mereka. Untuk itu pertama kita harus menghargai mereka.
Lain dengan film Castle in The Sky, dua film di atas (Spirited Away dan My Neighbor Totoro) dan film-,film Miyazaki kebanyakan, menonjolkan khas tradisional Jepang. Mungkin ini merupakan salah satu upaya Miyazaki dalam rangka mamperkenalkan negaranya lebih luas lagi kepada dunia.
Cara yang tepat untuk menyentuh hati orang dewasa. Mungkin itu kalimat yang dapat saya lontarkan untuk karya-karya Miyazaki.Dengan menggunakan karakter anak-anak dia

pp berusaha mengetuk orang-orang dewasa agar melihat kembali, instropeksi diri apakah mereka pantas mendapatkan gelar "Dewasa" yang seharusnya menjadi contoh bagi anak-anak generasi penerusnya. Namun sisi hiburan juga tidak dilupakan. Tidak sedikit adegan yang dapat menghibur hati orang dewasa juga anak-anak sehingga karya-karyanya dapat dinikmati bersama keluarga termasuk anak-anak.
Anak-anak VS Dewasa
Oleh Ariantia Yoewono

Katanya manusia akan semakin dewasa wiring bertambahnya umur, yang berarti akan lebih bertanggung jawab, lebih bijaksana, dapat membedakan mana yang baik, mana yang buruk, dan mengerti apa yang harusnya diutamakan untuk dikerjakan dan apa yang seharusnya tidak dikerjakan. Namun, tanpa kita sadari yang wring terjadi adalah kebalikannya. Tidak sedikit orang yang semakin bertambah umurnya bukan semakin bijaksana tetapi malah semakin serakah, hanya memikirkan kepentingan sendiri. Tidakkah kita sadari sebenarnya semakin kita bertambah besar, semakin kita mengenal keadaan dunia yang sebenarnya, kita mengatur strategi yang kuat untuk menghadapi dunia di hari-hari berikutnya? Dengan begitu tanpa kita sadari, setidaknya sedikit sifat serakah, mementingkan diri sendiri dan sifat tidak baik lainnya yang diajarkan di TK dulu untuk dihindari akan terianam di hati kita. Tetapi kita j uga manusia, tidak ada yang sempurna. Jika kadarnya hanya sedikit saja, mungkin tidak akan mempengaruhi masalah yang besar. Namun bagaiman jika kita tidak dapat mengendalikan diri? Bagaimana jika kita terus mengikuti keserakahan kita? Jika semua manusia di dunia seperti itu, kita hidup tidak akan tenang. Dan saya rasa sudah cukup banyak manusia yang seperti itu hidup di dunia, mungkin kita termasuk di dalamnya. Hayao Miyazaki tampaknya peka tentang hal ini, dan dia berusaha mengingatkan kita dalam karta-karyanya.
Salah satu karya Hayao Miyazaki yaitu Castle in The Sky, yang diproduksi pada tahun 1980-an ini, menceritakan tentang sebuah negeri yang melayang di udara bernama Laputa dan dua anak, Sheeta dan Pazu, yang mencari keberadaan negeri yang telah melegenda tersebut. Film ini memberitahukan kita akan kepolosan anak-anak yang membuat anak-anak menjadi lebih mulia daripada orang dewasa. Seperti yang dilakukan oleh Sheeta dan Pazu saat Muska yang telah mendapatkan kekuasaan atas Laputa mulai tidak terkendali menghabisi semua pasukan tentara yang datang bersamanya. Selain My Neighbor Totoro, Castle in The Sky merupakan karya Hayao Miyazaki yang mungkin akan menjadi salah satu film favorit bagi anak-anak. Selain ceritanya yang tidak terlalu berat untuk diikuti, juga ide cerita yang sangat dekat dengan imajinasi anak-anak. Berpetualang bersama para perompak menggunakan kapal perompak untuk menemukan negeri yang melayang di udara, saya rasa cerita tersebut tidak jauh dari lamunan anak-anak saat mereka bermain.
Saya kira film ini juga masih menarik untuk dinikmati oleh orang dewasa. Masih dapat membuat kita tenggelam di dalamnya. Mencurahkan konsentrasi kita kepada film itu dan ikut merasakan petualanganyang dialami oleh Sheeta dan Pazu. Namun ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya yaitu karakter Pazu terlihat berlebihan dalam arti tidak biasa dalam kehidupan kita sehari-hari. Walaupun karakter Pazu yang sangat mandiri sej ak ayahnya meninggal saat dalam usaha membuktikan kembali bahwa Laputa, negeri yang melayang di udara itu bener-benar ada, tampaknya hidup sendiri untuk anak yang baru berumur 11 tahun agak sulit untuk diterima. Semandiri-mandirinya anak yang berumur 11 tahun, saya rasa belum bisa sampai tinggal sendiri. Karena saya sendiri saat berada di umur segitu saya belum bisa mengatur diri sendiri. Kapan saya harus makan, makanan seperti apa yang baik untuk kesehatan dan mana yang tidak baik. Hal kecil seperti itu saja belum mengerti apalagi untuk tinggal sendiri, mengurus rumah sendiri. Apa jadinya saat masalah yang serius datang, saya pasti akan membutuhkan orang tua saya, setidaknya orang yang lebih tua dari saya, untuk membantu saya menyelesaikan masalah tersebut.
Musik yang digunakan dalam Castle in The Sky juga dalam film-film lain karya Miyazaki sangat minimalis. Soundtrack yang tidak asing dikuping, jika sudah pernah menonton film-film Miyazaki lainnya, digunakan sangat efekti£ Musik instrumental yang tepat memperkuat adegan-adegan. Namun dubbing yang kurang tepat agak merusak ekspresi setiap tokoh. Sangat terasa pada Pazu, hasil dubbingnya terdengar tidak alami. Rasanya sama seperti saat menonton sinetron Indonesia yang setiap tokohnya berbicara dalam bahasa Indonesia yang dipaksakan baku sehingga terdengar sangat kaku dan tidak alami.
Dalam film-filmnya, Hayao Miyazaki menyampaikan pesan-pesan yang kebanyakan berkaitan dengan sifat orang dewasa melalui karakter anak-anak. Selain dalam Castle in The Sky, hal ini juga terlihat dalam film lainnya yaitu salah satunya Spirited Away. Di dalam film tersebut tergambarkan bagaimana sifat seorang anak kecil lebih mulia dari pada sifat kedua orang tuanya. Memang benar orang tua mengajarkan hal yang baik kepada anaknya, namun hal tersebut tidak dapat menjamin bahwa sifat orang tua dalam menghadapi lingkungan luar atau masyarakat luar sama baiknya dengan yang mereka ajarkan kepada anaknya. Sang anak yang belum bisa menentukan dengan tegas mana yang baik dan mana yang buruk tidak dapat melihat bagaimana sebenarnya sifat orang tuanya itu dan berjuang keras untuk menyelamatkan kedua orang tuanya yang berubah menj adi babi karena memakan makanan sebuah kedai di suatu desa yang mereka temukan saat sedang jalan jalan di dekat rumah baru mereka tanpa izin.
Sedangkan dalam My Neighbor Totoro lebih menonj ol sisi imaginasi seorang anak kecil. Di sana kita diingatkan untuk menghargai setiap perkataan anak kecil clan ticlak menganggap remeh pendapat dan perkataan seorang anak kecil. Dengan begitu kita dapat menghargai anak yang walaupun umurnya tidak sampai setengah dari umur kita. Pada dasarnya hati anak-anak merupakan hati yang paling mulia karena mereka masih sangat polos clan belum mengenal kejamnya keadaan dunia yang sebenarnya. Kita tidak boleh malu untuk belajar dari mereka. Untuk itu pertama kita harus menghargai mereka.
Selain menyampaikan pesan-pesan yang kebanyakan berkaitan dengan sifat orang dewasa melalui karakter anak-anak juga, dalam film-film karya Miyazaki dimunculkan masalah mengenai ekologi. Di hampir setiap filmnya selalu ada pohon besar clan lapangan rumput yang luas atau taman. Pokoknya suatu lingkungan alam yang belum (atau memang tidak) dibangun bangunan di atasnya.
Lain dengan film Castle in The Sky, dua film di atas (Spirited Away dan My Neighbor Totoro) clan film-film Miyazaki kebanyakan, menonjolkan khas tradisional Jepang. Contohnya dalam SpiritedAway tempat Chihiro bekerja di dunia gaib menggambarkan sekali keadaan yang sangat Jepang. Mulai dari pakaian khas Jepang (Kimono) yang dikenakan oleh para makhluk gaib, sampai penjamuan tamu-tamu yang datang ke tampat tersebut. Sedangkan dalam My Neighbor Totoro kita bisa melihat kehidupan desa di Jepang. Apabila anda sudah pernah datang kesana anda akan merasa sangat rindu clan ingin kembalilagi karena dalam My Neighbor Totoro tergambarkan sangat mirip dengan keadaan yang sebenarnya. Namun j ika anda belum pernah merasakan berada di tempat seperti di dalam film My Neighbor Totoro clan ingin melihat bagaimana kehidupan di Jepang, tentunya bukan kehidupan kota yang sudah modern seperti sekarang namun kehidupan tradisional, anda bisa menonton dua film di atas. Mungkin ini merupakan salah satu upaya Miyazaki dalam rangka mamperkenalkan negaranya lebih luas lagi kepada dunia.
Cara yang tepat untuk menyentuh hati orang dewasa. Mungkin itu kalimat yang dapat saya lontarkan untuk karya-karya Miyazaki.Dengan menggunakan karakter anakanak dia berusaha mengetuk orang-orang dewasa agar melihat kembali, instropeksi diri apakah mereka pantas mendapatkan gelar "Dewasa" yang seharusnya menjadi contoh bagi anak-anak generasi penerusnya. Namun sisi hiburan juga tidak dilupakan. Tidak sedikit adegan yang dapat menghibur hati orang dewasa juga anak-anak sehingga karya-karyanya dapat dinikmati bersama keluarga termasuk anak-anak. Selain untukorang dewasa juga terdapat pembelajaran bagi anak-anak agar kelak tidak menjadi orang dewasa yang salah.